Protected by Copyscape Website Copyright Protection

Jumat, 18 Oktober 2013

KESALAHAN


Lelah. Ku tak yakin sampai kapan mata ini bisa bertahan. Sakit. Rasanya ingin menyerah. Panas. Sesak. Lelah. Sakit … Apa yang terjadi?
Gelap … gelap … gelap … hilang.
Kemanakah cahaya? Sudahkah aku … menyerah?
-:-ooOoo-:-
Ia terlontar. Jauh. Tubuhnya limbung untuk sesaat. Kepalanya pening. Susah payah dia tetap berusaha bangkit. Menatap sekeliling, dan menyapu darah yang mengalir di kepala. Dia menggeleng untuk memastikan tempatnya berpijak tidaklah goyah seperti yang dia rasakan. Lalu menggeram.
“KATAKAN PADAKU APA YANG  SUDAH KAULAKUKAN PADA ADIKKU?!”
Suara dari orang itu lagi. Menggelegar. Setelah pukulan tadi, dia semakin terlihat menjulang. Tidak ada harapan. Dirinya terlalu lemah untuk melawan.
“A-aku tidak melakukan a-apa pun.” Bibirnya terasa asin saat berucap, ada darah di sela-sela giginya. “Aku ba-bahkan tidak mengenal a-adikmu!”
“BAJINGAN!”
‘BRUK!’
Tubuhnya kembali terlempar. Menabrak dinding di belakangnya. Dia meringis, tubuhnya terasa nyeri. Mungkin tulangnya patah. Mungkin … orang itu akan membunuhnya saat ini juga. Menyedihkan. Bahkan sebelum orang itu datang, dia sudah tersungkur di kasur karena demam. Dan sekarang … dia jelas tidak punya perlindungan. Kenapa juga dia harus tetap tinggal di tempat itu sementara semua orang memutuskan untuk menghabiskan libur semester di rumah masing-masing?
Sial!
“Aku tidak akan membiarkan orang yang menodai adikku hidup!”
Tubuhnya terangkat. Lehernya dicengkeram. Kepalanya semakin pening karena napas yang tertahan. Dia akan mati. Dia pasti mati saat ini. Mati karena sesuatu yang tidak dia pahami. Menggelikan. Andai ini hanya bagian dari lelucon, dia pasti sudah terbahak.
“A … ku … ti … dak….”
‘BUK!’
“MATI KAU!”
Telinganya yang berdengung mendadak senyap. Dia akan mati. Dia … mungkin sudah mati.
-:-ooOoo-:-
Marah. Rasanya seperti terbakar. Jantung ini, paru-paru ini, semuanya tidak lagi seimbang. Kepala ini … otak ini … mati rasa. Mata, hidung, telinga … semuanya tidak lagi berfungsi.
Hanya ada marah … marah … marah … dan benci.
Aku benci padanya. Aku benci adikku.
… Aku benci pada diriku sendiri yang tidak bisa apa-apa.
-:-ooOoo-:-
Dia menangis―untuk pertama kalinya semenjak dia telah menjadi laki-laki dewasa.
“Maaf….”
Rintihan itu masih terdengar begitu jelas di telinganya. Dan setiap kejadian itu terulang di benaknya, dia merasa tercabik-cabik.
“Maaf….”
Dia ingin menghapus suara itu dari pikirannya. Dia tidak ingin melihat adiknya menangis, memohon sebuah maaf yang tidak bisa dia berikan. Bukan adiknya yang harus meminta maaf. Bukan. Yang harus meminta maaf adalah sosok lain yang membuatnya ternoda.
Adiknya adalah gadis kecil yang manis. Gadis kecil yang selalu dia sayang. Gadis rapuh yang selalu dijaga layaknya berlian. Dan meski dia telah menjaganya … dia tetap gagal.
Rasanya menyakitkan saat melihat adiknya itu menangis di bawah kakinya. Dan lebih menyakitkan lagi saat melihatnya kini tak lagi bernyawa.
“Maaf, ada yang bisa dibantu?”
Dan lihatlah pemuda itu! Dia masih hidup! Tersenyum dan berbicara dengan ramah di balik pintu tempatnya tinggal! Pemuda yang sudah menghancurkan hidup adiknya … juga hidupnya.
‘BUK!’
Pintu yang sempat menghalangi mereka itu terbuka dengan paksa. Pemuda itu merintih, setengah memaki sambil memegangi wajahnya yang lebam.
“Hey! Ada ap―”
‘BUK!’
Pemuda itu bahkan masih bisa menunjukkan wajah tanpa dosa di hadapannya.
“Katakan padaku apa yang sudah kaulakukan pada adikku!” hardiknya.
“Adikmu? Siapa?”
‘BRUK!’
Dia pemuda yang lemah! Dia sama sekali tidak memiliki kekuatan. Bahkan hanya dengan satu pukulan dia sudah terlempar. Bagaimana mungkin pemuda seperti ini yang sudah membuatnya mati rasa?
Dia melempar selembar foto yang dibawanya. Foto seorang gadis cantik yang tengah tersenyum gembira menghadap kamera―foto adiknya. “Apa kau sudah mengingatnya, heh?! Tatap wajahnya lekat-lekat, karena setelah ini kau akan menyusulnya ke alam baka!”
“A-aku tidak tahu adikmu!”
‘BRUK!’
“KATAKAN PADAKU APA YANG SUDAH KAULAKUKAN PADA ADIKKU?!”
“A-aku tidak melakukan a-apa pun. Aku ba-bahkan tidak mengenal a-adikmu!”
“BAJINGAN!”
‘BRUK!’
Dia marah. Rasanya menyesakkan, hingga terasa mati rasa. Dia ingin membunuh pemuda itu. Dia … akan membunuhnya saat ini juga.
-:-ooOoo-:-
Mengantuk. Aku hanya ingin tidur. Terlelap dalam mimpi yang tenang. Tidak ada lagi masalah, air mata, rasa sakit dan tersiksa. Aku akan terbebas dan hidup bahagia selamanya.
Benarkah?
Ya! Pasti semudah itu! Hanya perlu menutup mata dan tidak terbangun lagi. Aku akan tidur … selamanya.
-:-ooOoo-:-
Dia yang salah. Pemuda itu mungkin juga salah. Ya, ini salah mereka. Bukan hanya satu pihak, karena mereka melakukannya berdua. Tanpa satu pun yang memaksa.
Lalu mengapa hanya dia yang menanggungnya?
Mata yang sudah lelah menangis itu memejam. Dia masih bisa membayangkan senyum manis pemuda itu padanya. Juga sapaan sayang yang kerap kali dia lontarkan.
“Aku mencintaimu.”
Apakah cinta itu sudah tidak ada lagi?
“Dia belum tentu anakku! Bisa saja kau sudah tidur dengan pria lain. Aku tidak memiliki tanggung jawab atas kesalahan yang kaulimpahkan padaku ini!”
Tanggung jawab. Dulu kata itu terdengar begitu sederhana. Tidak sulit berkata untuk menerima tanggung jawab karena perbuatan mereka. Tapi saat mereka dihadapkan oleh tanggung jawab itu sendiri, mereka tidak bisa. Kata itu tidak lagi terdengar sederhana. Tanggung jawab kini terasa begitu besar …
“Anggap saja sebelumnya kita tidak pernah saling mengenal.”
… hingga pemuda itu melarikan diri dan membiarkannya menanggung sendiri.
Dari kecil, hidupnya selalu dipenuhi kegembiraan. Dia memiliki orang tua dan kakak yang begitu perhatian―keluarganya sempurna. Dia juga memiliki banyak sekali teman yang setia―pergaulannya pun sempurna. Dia selalu berhasil mendapatkan hasil yang memuaskan di setiap mata pelajaran yang diterimanya―sekolahnya juga sempurna. Tapi semua kesempurnaan itu mendadak hilang saat dia melakukan satu kesalahan; menabrak norma bersama kekasihnya itu.
Kini dia menderita. Dia telah berdosa. Dosa besar yang tidak akan pernah bisa ditutupinya. Dia telah kotor dan menjijikkan. Dia tidak pantas lagi menerima kehidupan.
“Maaf….”
Dia ingat saat kata itu meluncur dari bibirnya. Dia ingat ekspresi keluarganya yang tidak terbaca. Dia ingat bagaimana kakaknya menatapnya dengan wajah memerah karena marah.
“Siapa yang sudah melakukannya?”
Ia bungkam. Dia sudah tahu pertanyaan itu akan terlontar. Tapi pemuda itu tidak sepenuhnya salah. Dia juga. Dan jika kakaknya tahu siapa dia, hidup pemuda itu akan berakhir. Dia masih mencintainya, bahkan ketika dia ditinggalkan. Dia tidak ingin hal buruk menimpa pemuda itu.
Bodoh!
“Maaf….”
Hanya kata itu yang bisa dia lontarkan. Satu kata untuk semuanya. Untuk pemuda itu, untuk kakaknya, untuk keluarganya, untuk janin dalam kandungannya, untuk dirinya sendiri, juga untuk … Tuhan.
Kata itu adalah kata terakhir yang dia ucapkan.
Karena setelahnya, bibir itu benar-benar bungkam bersamaan dengan matanya yang terpejam. Dia sudah tertidur … untuk selamanya.
-:-ooOoo-:-
Ini kesalahan. Harusnya semua tidak pernah terjadi. Harusnya nafsu itu tidak perlu diikuti. Tapi semua kesalahan itu sudah terlanjut kulakukan.
Takut… takut… takut… rasa itu seperti membunuhku.
Tapi aku tidak ingin mengakuinya. Karena ini kesalahan; pasti ada kesalahan-kesalahan lain, bukan? Mungkin saja gadis itu telah melakukan kesalahan lain, bukan denganku tapi dengan pemuda lain.
Ya! Ini kesalahan. Tapi tidak sepenuhnya salahku! Aku masih bisa berlari!
Meski … aku takut.
-:-ooOoo-:-
“Kau mau ke mana?”
Tangannya penuh dengan koper besar yang dengan susah payah diangkutnya. Mata kecokelatannya menatap sosok dengan wajah yang hampir sama dengan wajahnya itu. “Pergi,” hanya itu yang dia ucapkan sebagai jawaban.
“Ke mana? Ada urusan?”
“Ya.”
“Lama?”
“Sejak kapan sih kau jadi cerewet?”
“Kau pucat. Aku khawatir.”
“Aku baik-baik saja.”
Dia berbohong. Dia sama sekali tidak baik-baik saja. Dia bingung. Mungkin wajahnya memang pucat karena memikirkan apa yang gadis itu katakan padanya tadi.
“Aku … hamil.”
Dia masih bisa melihat dengan jelas wajah dari gadis yang sempat dia cintai itu begitu pucat. Tubuhnya jauh lebih kurus dari yang pernah dia ingat. Tapi bahkan penampilan fisik gadis itu sama sekali tidak menarik perhatiannya, karena pengakuan gadis itu jauh lebih mengagetkannya.
Dia tahu, dia sangat tahu kalau gadis itu tidak pernah mengkhianati dirinya. Dia juga tahu kalau semua ini mungkin akan terjadi―karena itu dia pernah mengucapkan janji untuk bertanggung jawab. Tapi saat kejadian itu benar-benar ada di depan wajahnya, dia tidak siap. Dia tidak pernah benar-benar mempersiapkan diri untuk sebuah tanggung jawab.
“Dia belum tentu anakku! Bisa saja kau sudah tidur dengan pria lain. Aku tidak memiliki tanggung jawab atas kesalahan yang kaulimpahkan padaku ini!”
Itu bohong. Dia mengucapkannya hanya karena alasan itu adalah satu-satunya alasan yang terbersit di kepalanya. Sebuah alasan untuk melarikan diri dari tanggung jawab.
“Anggap saja sebelumnya kita tidak pernah saling mengenal.”
Dia tidak benar-benar ingin mengatakan itu. Dia tahu kata-katanya itu sangat menyakitkan. Tapi dia sungguh-sungguh takut. Dia tidak siap. Dia ingin pergi, hanya pergi.
“Aku pergi.” Dia berucap, meninggalkan saudaranya yang masih menatapnya dengan pandangan menyelidik. “Selamat tinggal.”―dia mengucapkan kalimat terakhir itu dalam hati.
-:-ooOoo-:-
Aneh. Dia pucat, melebihi aku. Apa dia demam juga?
Aneh. Semua pergi. Dia pun seperti melarikan diri.
Aneh. Semua terasa aneh. Dia. Orang-orang.
… Atau hanya aku?
-:-ooOoo-:-
Pintu terbuka. Dia mengangkat kepalanya yang berat untuk melihat sosok yang memiliki wajah yang sama dengannya berjalan masuk dengan penampilan berantakan. Adik kembarnya. Apa yang telah terjadi padanya?
Dia ingin sekali bertanya, tapi adiknya bahkan tak berhenti bergerak. Entah apa yang tengah dilakukannya. Dia seperti mendadak memiliki kesibukan, padahal dia tidak pernah seperti ini.
Dan rasa penasarannya semakin menggebu-gebu saat dilihatnya adiknya membawa tas besar. Mau ke mana dia?
Dengan terpaksa dia bangkit. Menahan denyutan di kepala yang membuatnya limbung. Dia mendatangi adiknya, dan melontarkan pertanyaan, “Kau mau ke mana?”
“Pergi.”
Hanya itu jawaban yang didapatnya. Dan dia tidak puas.
“Ke mana? Ada urusan?”
“Ya.”
“Lama?”
“Sejak kapan sih kau jadi cerewet?”
“Kau pucat. Aku khawatir.”
Dia tidak berbohong. Adiknya sungguh-sungguh pucat. Bahkan melebihi dirinya yang memang sedang sakit.
“Aku baik-baik saja.”
Dia tidak ingin percaya kata-kata itu. Ada yang aneh. Ada yang salah.
“Aku pergi.”
Lalu dua kata itu berlalu begitu saja. Adiknya melangkah tanpa bisa dia cegah. Dia tidak tahu apa yang tengah terjadi. Sama sekali tidak mengerti. Dan mencoba mencerna semua ini membuat kepalanya semakin berdenyut-denyut. Dia tidak ingin istirahat―tapi sepertinya dia sangat membutuhkannya.
Tapi rencana istirahat itu tidak pernah terjadi.
Tidak lama setelah itu, pintu kembali diketuk. Dan dia tidak yakin dengan apa yang terjadi selanjutnya.
Keanehan itu muncul berkali-kali, hingga akhirnya memuncak di penghujung hidupnya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan itu hanya menggantung tanpa bisa terjawab.
-:-ooOoo-:-
Apa itu hidup?
Apa itu tanggung jawab?
Apa itu … mati?
Pertanyaan itu menggantung begitu saja.
Dia … aku … Tuhan … siapa yang patut disalahkan?
Lagi-lagi, semua hanya menggantung.
Tapi semua tahu, ini adalah kesalahan.
Satu kesalahan yang berujung kesalahan lain.
Yang menimbulkan rangkaian kesalahan layaknya jaring laba-laba.
Satu, dua, tiga … seribu kesalahan
Benarkah salah?
Atau ini hanya rangkaian titik yang telah ditakdirkan
Hanya menunggu untuk dirangkai menjadi pola?
-:-ooOoo-:-
Sosok itu di sana. Diam. Bisu. Dan dia juga berharap dibutakan saja.
Ini berawal dari mana?
Pertanyaan itu terus berputar di pikirannya. Dan semua pola yang ditariknya menghasilkan satu kesimpulan yang sama; dia.
Ini salahnya. Dia adalah akar.
Dan kini dia tidak tahu bagaimana cara menebus semua kesalahan ini.
Satu…, dua…, oh, tidak, ada tiga. Tiga nyawa telah pergi. Dan mungkin akan ada yang keempat.
Malaikat maut pasti tengah tersenyum. Mungkin sang shinigami diam-diam mengajaknya berteman.
Apakah artinya dia akan menjadi yang kelima?
Sebuah senyum sinis tersampir di bibirnya.
Apakah semua tokoh harus mati?
Kali ini, dia ingin tertawa.
Sandiwara macam apa ini? Sutradaranya pastilah sangat buruk. Sutradara dengan selera humor yang mengerikan.
Dan sutradara itu adalah … Tuhan.
Ya! Tuhan yang maha tidak humoris!
Dia membenci alurnya! Dia membenci semua pemerannya! Dia benci aktingnya! Dia benci endingnya! Dia benci … benci … benci….

Ini kesalahan. Ini semua adalah kesalahan!
-:-ooFINoo-:-
A/N: Lagi-lagi satu cerpen yang dibuang sayang. Saya suka cerpen ini sebenarnya. Hanya saja, mungkin cerpennya memang aneh ya? Haha XD
Well, mohon jangan kopas tanpa izin ya! :3

Rabu, 03 April 2013

Feel My Soul


 “Kenapa?”
Pertanyaan itu menggantung begitu saja, tenggelam oleh suara derasnya hujan yang menghujam tanah di sekeliling mereka. Bahkan derai air matanya pun sudah menyatu dengan air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya.
Dengan gemetar dia memeluk jaket kusam yang menggantung di bahu. Perlahan, dia berjalan, mengikuti iringan langkah dari pemuda di sampingnya. Pemuda itu hanya diam, tidak mengucapkan kata apa pun sedari tadi. Bahkan ekspresi wajahnya begitu sulit ditebak.
“Maaf.”
Kata itu lagi-lagi hanya menggantung di udara saat dia mengucapkannya. Dia menggigit bibir, menahannya agar tidak gemetar. Tubuhnya dingin, karena hujan, juga karena kehadiran pemuda itu.
Dari awal, harusnya dia tahu semua ini akan terjadi. Harusnya dia sudah cukup dewasa untuk mengerti kalau karma itu sungguhan ada. Tapi dia selalu menolak, karena matanya telah tertutup oleh silaunya kebahagiaan semu.
Tiga bulan yang lalu, di hari berhujan yang hampir sama, dia sudah menyakiti perasaan pemuda itu. Meninggalkannya hanya untuk pemuda lain yang ternyata hanyalah seorang penggombal ulung. Saat itu, dia adalah gadis paling bodoh sedunia. Dan kini rasa penyesalan itu berlipat ganda karena pemuda itu, yang disakitinya, ada di sini.
Gilang hanyalah pemuda biasa. Tidak begitu spesial. Mungkin itu juga yang membuat Intan mengabaikannya dengan begitu mudah. Bahkan saat dia memutuskan hubungan mereka, Gilang sama sekali tidak marah padanya. Ah, atau lebih tepatnya Intan tidak peduli Gilang akan marah atau tidak.
Sedangkan Agni adalah segalanya. Dia tampan, kaya, dan romantis. Agni tidak pernah ragu untuk memujinya atau mengucapkan kata cinta berkali-kali. Dia juga tidak pernah lupa untuk membelikan Intan berbagai hadiah. Semua perlakuan pemuda itu membuatnya buta.
Kini, di bawah guyuran hujan, dia menyadari kesalahannya. Saat Agni mencampakkannya bagai barang bekas. Membuang dan melupakannya seperti yang dulu pernah dia lakukan pada Gilang. Sedangkan Gilang, pemuda itu datang. Memeluknya, menyampirkan jaket kusam miliknya untuk melindungi Intan yang sebenarnya sudah basah kuyup. Lalu menggiringnya dalam sunyi ke tempat yang lebih hangat.
Tidak ada kata. Gilang tidak pernah memulai percakapan. Dia selalu melakukan segala hal dalam diam. Dalam ketenangan yang terkadang membosankan. Tidak ada rayuan, kata cinta, bahkan kemarahan. Begitu sulit menebak apa yang dia pikirkan.
Sikap pendiam pemuda itulah yang dulu membuat Intan gerah. Dia merasa tidak dicintai hanya karena pemuda itu tidak pernah mengatakan mencintainya. Merasa tidak dihiraukan hanya karena pemuda itu tidak banyak bicara.
Padahal, dia tahu, di sudut hatinya yang terdalam, Gilang selalu mencintainya. Dia tidak menunjukkannya dalam kata-kata, dia menunjukkannya dalam sikap. Gilang tidak pernah memberikannya hadiah, tapi pemuda itu selalu ada saat dia membutuhkan. Dia jarang mengatakan betapa dia mencintai Intan, tapi dia tidak pernah lelah berdiri di sampingnya, mendengarkan seluruh keluh kesahnya.
Bagaimana mungkin segala hal itu tidak cukup? Bagaimana mungkin Intan dengan bodohnya lari ke pelukan pemuda lain yang nyatanya sama sekali tidak setia?
“Kau harus ganti baju.”
Kalimat itu adalah kalimat pertama yang meluncur dari bibir Gilang sejak pertemuan mereka tadi. Kini, tanpa Intan sadari―karena pikirannya yang berlarian entah ke mana―ternyata mereka sudah berada di dalam mobil Gilang yang hangat. Meski tubuhnya masih merasakan rasa dingin yang sama.
“Ba-bagaimana kautahu?”
Intan yakin Gilang mengerti maksud pertanyaan yang ambigu itu, karena setelahnya dia menyahut, “Aku tahu segalanya tentangmu.”
Bahkan jawaban itu sudah diduganya.
“Kenapa kau masih begitu peduli padaku? Setelah…. Setelah … semua yang sudah kulakukan?”
Gilang tidak menjawab pertanyaannya. Dia menginjak pedal gas perlahan, mulai menggerakkan mobilnya menyusuri jalanan. Lagi-lagi membiarkan pertanyaan Intan menggantung begitu saja.
Gadis itu memeluk jaket di pundaknya, mencari sisa kehangatan dari balik kainnya yang basah. Aroma tubuh Gilang ada di sana, membekas, dan tidak mau hilang. “Kenapa?” Pertanyaan itu meluncur lagi dari bibirnya tanpa bisa dicegah.
“Kau tahu kenapa.” Jawaban ambigu itu akhirnya meluncur dari bibir Gilang. Dia menghela napas lelah. “Kau tahu aku mencintaimu―selalu.”
Ya, Intan tahu. Dia hanya ―pernah di suatu masa― tidak ingin mengetahuinya. “Aku bukanlah gadis yang baik,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Aku tidak peduli.” Intan melirik Gilang di sebelahnya yang kini memfokuskan pandangannya ke jalanan yang lengang. “Yang kupedulikan, aku merasa sakit saat melihatmu seperti ini.”
Bahkan setelah semua yang Intan lakukan? Bahkan setelah dia menyakiti Gilang?
Air mata yang sempat mengering tadi kembali mengalir. Kali ini bukan untuk menangisi Agni, tapi menangisi dirinya sendiri. Menangisi segala keegoisan yang dirinya miliki.
Mobil itu mendadak menepi. Menimbulkan guncangan pelan pada tubuh Intan, tapi hanya sesaat, karena selanjutnya tubuhnya tidak lagi berguncang. Tubuh itu ditahan oleh sebuah lengan yang begitu hangat. Sangat hangat hingga membuatnya lupa dengan pakaian basah yang dia kenakan.
“Jangan pernah lakukan hal bodoh seperti ini lagi.” Dia bisa merasakan napas Gilang di telinganya. Pelukan dari pemuda itu terasa menguat. “Kau tahu, sejak awal aku adalah milikmu. Bahkan di saat kau pergi meninggalkanku, melukaiku, mengabaikanku. Aku tetap akan ada di sini. Menunggumu untuk kembali. Karena aku mencintaimu. Cukup ingat itu.”
Pemuda itu menarik wajahnya, menatap wajah Intan lekat-lekat. Sebelah tangannya bergerak, menghapus air mata di pipi gadis itu. “Maaf karena aku tidak pernah bisa menjadi sempurna untukmu,” gumamnya.
Intan menggeleng. Dia menggigit bibir. “Kau sempurna. Sangat. Akulah…. Akulah yang―”
“Sudahlah.” Pemuda itu kembali memeluknya erat. Tidak lagi bersuara. Hanya ada jantungnya yang berdetak begitu cepat.
Kali ini, detik ini, Intan menyadari, cinta bukanlah saat Agni mengatakan hingga bosan kalau dia mencintai Intan. Cinta bukanlah saat Agni memberikannya begitu banyak hadiah. Cinta adalah … saat Gilang ada di sini, bersamanya. Tidak butuh kata-kata rayuan apa pun. Karena cinta yang Gilang berikan, adalah tindakan nyata. Cinta yang sesungguhnya.
“Terima kasih.”
Dan Intan tidak ingin melepaskan kehangatan yang Gilang berikan, lagi.

Selasa, 12 Maret 2013

Aku dan Kau

Awan selalu membawa hujan. Terlihat begitu putih di awal, membuat langit sedikit teduh kala kita berjalan di bawahnya. Tapi saat waktunya tiba, dia akan berkumpul, menghitam, lalu terjatuh menjadi butiran-butiran air. Kadang, ditemani oleh angin dan petir yang menyeramkan. Dan seperti itulah hubungan kita.

Tidak ada yang tahu sejak kapan atau oleh siapa semua ini dimulai. Kau sudah ada di sana setiap harinya, menemaniku secara tidak langsung setiap hujan datang. Dan aku hanya bisa menatap punggungmu setiap hari, membayangkan bagaimana rasanya bisa menyentuhnya.

Bahkan aku tidak ingat siapa yang lebih dulu menyapa. Setiap kita bertemu, selalu ada senyum yang secara otomatis tercipta. Begitu meneduhkan. Begitu kurindukan. Saat-saat itu terasa begitu benar. Meski kita tahu komunikasi kecil seperti itu tidak pernah memberi kemajuan.

Semua terjadi begitu saja. Kau dan aku tidak perlu lagi tersenyum sekilas dan berdiri saling memunggungi. Hidup dalam pikiran masing-masing di bawah derasnya hujan. Seiring berjalannya waktu, bukan lagi ada aku dan kau. Tapi kita. Berdiri berdampingan, melontarkan lelucon sambil menunggu hujan reda. Dan di waktu yang lain, kita sudah begitu dekat, bergandengan tangan dan berlari bersama. Menciptakan tawa bersama. Sesuatu yang tidak pernah kupikirkan akan mampu kita lakukan.

Semuanya terasa menyenangkan. Saat aku merasakan kehangatan tanganmu. Saat kita mulai berbagi rahasia. Saat kita saling tertawa, mengejek, dan selalu bersama setiap saat. Tapi seiring waktu berjalan, aku sadar, kesenangan ini semu.

Aku tidak tahu mengapa. Siapa yang salah. Aku atau kau? Atau justru kita berdua? Keadaan memburuk. Seperti awan hitam yang siap membludak dan jatuh menjadi butiran hujan. Dingin dan menyeramkan. Aku membenci saat ini, saat kita berdiri begitu berjauhan, di tempat yang sama, di hujan yang sama. Bahkan senyum ramah yang kita lontarkan di awal perkenalan pun tidak lagi ada. Dan aku tidak punya solusi untuk memperbaikinya.

Sendirian. Bukan lagi kita. Hanya ada aku di sini, dan kau di sana. Hidup dalam dunia kita masing-masing. Seolah tidak pernah saling mengenal. Dan kuakui, ini menyakitkan.

Tidak adakah jalan untuk kembali ke semula? Saat-saat aku hanya bisa memandang punggungmu. Mendengar deru napasmu yang beradu dengan suara hujan. Saat kita saling tersenyum singkat sebagai formalitas. Saat mimpi dan harapan masih ada. Bergelayut dalam dada dan memberikan senyuman kebahagiaan yang tak terkira.

Aku dan kau. Tidak perlu ada kita. Aku hanya ingin saat aku dan kau berada di posisi saat kita bukanlah kesatuan. Karena kesatuan hanya akan memisahkan kita lebih jauh dari awal yang memang rumit. Aku membencinya. Membenci saat ‘aku dan kau’ menjadi ‘kita’ dan kembali menjadi ‘aku dan kau’ dalam posisi yang lebih buruk.

Andai semua ini tidak terjadi. Andai cinta ini hanya kita pendam. Andai tidak ada satu pun di antara kita yang berinisiatif untuk mendekatkan hubungan. Andai … kita bisa mengulang waktu.

Tapi awan telah menjadi hujan. Tapi angin dingin dan petir ini sudah muncul. Bahkan jika hujan akhirnya kembali ke laut dan menguap kembali menjadi awan, kuyakin kita tidak akan menjadi awan yang sama lagi.

Sepertinya, inilah akhirnya.

Hujan yang sama. Mungkin awan dan air yang sama. Telah menjadi saksi kita; aku dan kau. Awal, perjalanan dan … akhir.

Protected by Copyscape Plagiarism Checker