Lelah. Ku tak yakin sampai
kapan mata ini bisa bertahan. Sakit. Rasanya ingin menyerah. Panas. Sesak.
Lelah. Sakit … Apa yang terjadi?
Gelap … gelap … gelap …
hilang.
Kemanakah cahaya? Sudahkah
aku … menyerah?
-:-ooOoo-:-
Ia
terlontar. Jauh. Tubuhnya limbung untuk sesaat. Kepalanya pening. Susah payah
dia tetap berusaha bangkit. Menatap sekeliling, dan menyapu darah yang mengalir
di kepala. Dia menggeleng untuk memastikan tempatnya berpijak tidaklah goyah
seperti yang dia rasakan. Lalu menggeram.
“KATAKAN
PADAKU APA YANG SUDAH KAULAKUKAN PADA
ADIKKU?!”
Suara
dari orang itu lagi. Menggelegar. Setelah pukulan tadi, dia semakin terlihat
menjulang. Tidak ada harapan. Dirinya terlalu lemah untuk melawan.
“A-aku
tidak melakukan a-apa pun.” Bibirnya terasa asin saat berucap, ada darah di
sela-sela giginya. “Aku ba-bahkan tidak mengenal a-adikmu!”
“BAJINGAN!”
‘BRUK!’
Tubuhnya
kembali terlempar. Menabrak dinding di belakangnya. Dia meringis, tubuhnya
terasa nyeri. Mungkin tulangnya patah. Mungkin … orang itu akan membunuhnya
saat ini juga. Menyedihkan. Bahkan sebelum orang itu datang, dia sudah
tersungkur di kasur karena demam. Dan sekarang … dia jelas tidak punya
perlindungan. Kenapa juga dia harus tetap tinggal di tempat itu sementara semua
orang memutuskan untuk menghabiskan libur semester di rumah masing-masing?
Sial!
“Aku
tidak akan membiarkan orang yang menodai adikku hidup!”
Tubuhnya
terangkat. Lehernya dicengkeram. Kepalanya semakin pening karena napas yang
tertahan. Dia akan mati. Dia pasti mati saat ini. Mati karena sesuatu yang
tidak dia pahami. Menggelikan. Andai ini hanya bagian dari lelucon, dia pasti
sudah terbahak.
“A
… ku … ti … dak….”
‘BUK!’
“MATI
KAU!”
Telinganya
yang berdengung mendadak senyap. Dia akan mati. Dia … mungkin sudah mati.
-:-ooOoo-:-
Marah. Rasanya seperti
terbakar. Jantung ini, paru-paru ini, semuanya tidak lagi seimbang. Kepala ini
… otak ini … mati rasa. Mata, hidung, telinga … semuanya tidak lagi berfungsi.
Hanya ada marah … marah
… marah … dan benci.
Aku benci padanya. Aku
benci adikku.
… Aku benci pada diriku
sendiri yang tidak bisa apa-apa.
-:-ooOoo-:-
Dia
menangis―untuk pertama kalinya semenjak dia telah menjadi laki-laki dewasa.
“Maaf….”
Rintihan
itu masih terdengar begitu jelas di telinganya. Dan setiap kejadian itu
terulang di benaknya, dia merasa tercabik-cabik.
“Maaf….”
Dia
ingin menghapus suara itu dari pikirannya. Dia tidak ingin melihat adiknya
menangis, memohon sebuah maaf yang tidak bisa dia berikan. Bukan adiknya yang
harus meminta maaf. Bukan. Yang harus meminta maaf adalah sosok lain yang
membuatnya ternoda.
Adiknya
adalah gadis kecil yang manis. Gadis kecil yang selalu dia sayang. Gadis rapuh
yang selalu dijaga layaknya berlian. Dan meski dia telah menjaganya … dia tetap
gagal.
Rasanya
menyakitkan saat melihat adiknya itu menangis di bawah kakinya. Dan lebih
menyakitkan lagi saat melihatnya kini tak lagi bernyawa.
“Maaf,
ada yang bisa dibantu?”
Dan
lihatlah pemuda itu! Dia masih hidup! Tersenyum dan berbicara dengan ramah di
balik pintu tempatnya tinggal! Pemuda yang sudah menghancurkan hidup adiknya …
juga hidupnya.
‘BUK!’
Pintu
yang sempat menghalangi mereka itu terbuka dengan paksa. Pemuda itu merintih,
setengah memaki sambil memegangi wajahnya yang lebam.
“Hey!
Ada ap―”
‘BUK!’
Pemuda
itu bahkan masih bisa menunjukkan wajah tanpa dosa di hadapannya.
“Katakan
padaku apa yang sudah kaulakukan pada adikku!” hardiknya.
“Adikmu?
Siapa?”
‘BRUK!’
Dia
pemuda yang lemah! Dia sama sekali tidak memiliki kekuatan. Bahkan hanya dengan
satu pukulan dia sudah terlempar. Bagaimana mungkin pemuda seperti ini yang
sudah membuatnya mati rasa?
Dia
melempar selembar foto yang dibawanya. Foto seorang gadis cantik yang tengah
tersenyum gembira menghadap kamera―foto adiknya. “Apa kau sudah mengingatnya,
heh?! Tatap wajahnya lekat-lekat, karena setelah ini kau akan menyusulnya ke
alam baka!”
“A-aku
tidak tahu adikmu!”
‘BRUK!’
“KATAKAN
PADAKU APA YANG SUDAH KAULAKUKAN PADA ADIKKU?!”
“A-aku
tidak melakukan a-apa pun. Aku ba-bahkan tidak mengenal a-adikmu!”
“BAJINGAN!”
‘BRUK!’
Dia
marah. Rasanya menyesakkan, hingga terasa mati rasa. Dia ingin membunuh pemuda
itu. Dia … akan membunuhnya saat ini
juga.
-:-ooOoo-:-
Mengantuk. Aku hanya
ingin tidur. Terlelap dalam mimpi yang tenang. Tidak ada lagi masalah, air
mata, rasa sakit dan tersiksa. Aku akan terbebas dan hidup bahagia selamanya.
Benarkah?
Ya! Pasti semudah itu! Hanya
perlu menutup mata dan tidak terbangun lagi. Aku akan tidur … selamanya.
-:-ooOoo-:-
Dia
yang salah. Pemuda itu mungkin juga salah. Ya, ini salah mereka. Bukan hanya
satu pihak, karena mereka melakukannya berdua. Tanpa satu pun yang memaksa.
Lalu
mengapa hanya dia yang menanggungnya?
Mata
yang sudah lelah menangis itu memejam. Dia masih bisa membayangkan senyum manis
pemuda itu padanya. Juga sapaan sayang yang kerap kali dia lontarkan.
“Aku mencintaimu.”
Apakah
cinta itu sudah tidak ada lagi?
“Dia belum tentu
anakku! Bisa saja kau sudah tidur dengan pria lain. Aku tidak memiliki tanggung
jawab atas kesalahan yang kaulimpahkan padaku ini!”
Tanggung
jawab. Dulu kata itu terdengar begitu sederhana. Tidak sulit berkata untuk
menerima tanggung jawab karena perbuatan mereka. Tapi saat mereka dihadapkan
oleh tanggung jawab itu sendiri, mereka tidak bisa. Kata itu tidak lagi
terdengar sederhana. Tanggung jawab kini terasa begitu besar …
“Anggap saja sebelumnya
kita tidak pernah saling mengenal.”
…
hingga pemuda itu melarikan diri dan membiarkannya menanggung sendiri.
Dari
kecil, hidupnya selalu dipenuhi kegembiraan. Dia memiliki orang tua dan kakak
yang begitu perhatian―keluarganya sempurna. Dia juga memiliki banyak sekali
teman yang setia―pergaulannya pun sempurna. Dia selalu berhasil mendapatkan
hasil yang memuaskan di setiap mata pelajaran yang diterimanya―sekolahnya juga
sempurna. Tapi semua kesempurnaan itu mendadak hilang saat dia melakukan satu
kesalahan; menabrak norma bersama kekasihnya itu.
Kini
dia menderita. Dia telah berdosa. Dosa besar yang tidak akan pernah bisa ditutupinya.
Dia telah kotor dan menjijikkan. Dia tidak pantas lagi menerima kehidupan.
“Maaf….”
Dia
ingat saat kata itu meluncur dari bibirnya. Dia ingat ekspresi keluarganya yang
tidak terbaca. Dia ingat bagaimana kakaknya menatapnya dengan wajah memerah karena
marah.
“Siapa
yang sudah melakukannya?”
Ia
bungkam. Dia sudah tahu pertanyaan itu akan terlontar. Tapi pemuda itu tidak
sepenuhnya salah. Dia juga. Dan jika kakaknya tahu siapa dia, hidup pemuda itu
akan berakhir. Dia masih mencintainya, bahkan ketika dia ditinggalkan. Dia
tidak ingin hal buruk menimpa pemuda itu.
Bodoh!
“Maaf….”
Hanya
kata itu yang bisa dia lontarkan. Satu kata untuk semuanya. Untuk pemuda itu,
untuk kakaknya, untuk keluarganya, untuk janin dalam kandungannya, untuk
dirinya sendiri, juga untuk … Tuhan.
Kata
itu adalah kata terakhir yang dia ucapkan.
Karena
setelahnya, bibir itu benar-benar bungkam bersamaan dengan matanya yang
terpejam. Dia sudah tertidur … untuk selamanya.
-:-ooOoo-:-
Ini kesalahan. Harusnya
semua tidak pernah terjadi. Harusnya nafsu itu tidak perlu diikuti. Tapi semua
kesalahan itu sudah terlanjut kulakukan.
Takut… takut… takut…
rasa itu seperti membunuhku.
Tapi aku tidak ingin
mengakuinya. Karena ini kesalahan; pasti ada kesalahan-kesalahan lain, bukan? Mungkin
saja gadis itu telah melakukan kesalahan lain, bukan denganku tapi dengan
pemuda lain.
Ya! Ini kesalahan. Tapi
tidak sepenuhnya salahku! Aku masih bisa berlari!
Meski … aku takut.
-:-ooOoo-:-
“Kau
mau ke mana?”
Tangannya
penuh dengan koper besar yang dengan susah payah diangkutnya. Mata
kecokelatannya menatap sosok dengan wajah yang hampir sama dengan wajahnya itu.
“Pergi,” hanya itu yang dia ucapkan sebagai jawaban.
“Ke
mana? Ada urusan?”
“Ya.”
“Lama?”
“Sejak
kapan sih kau jadi cerewet?”
“Kau
pucat. Aku khawatir.”
“Aku
baik-baik saja.”
Dia
berbohong. Dia sama sekali tidak baik-baik saja. Dia bingung. Mungkin wajahnya
memang pucat karena memikirkan apa yang gadis itu katakan padanya tadi.
“Aku … hamil.”
Dia
masih bisa melihat dengan jelas wajah dari gadis yang sempat dia cintai itu begitu
pucat. Tubuhnya jauh lebih kurus dari yang pernah dia ingat. Tapi bahkan
penampilan fisik gadis itu sama sekali tidak menarik perhatiannya, karena
pengakuan gadis itu jauh lebih mengagetkannya.
Dia
tahu, dia sangat tahu kalau gadis itu tidak pernah mengkhianati dirinya. Dia
juga tahu kalau semua ini mungkin akan terjadi―karena itu dia pernah
mengucapkan janji untuk bertanggung jawab. Tapi saat kejadian itu benar-benar
ada di depan wajahnya, dia tidak siap. Dia tidak pernah benar-benar
mempersiapkan diri untuk sebuah tanggung jawab.
“Dia belum tentu
anakku! Bisa saja kau sudah tidur dengan pria lain. Aku tidak memiliki tanggung
jawab atas kesalahan yang kaulimpahkan padaku ini!”
Itu
bohong. Dia mengucapkannya hanya karena alasan itu adalah satu-satunya alasan
yang terbersit di kepalanya. Sebuah alasan untuk melarikan diri dari tanggung
jawab.
“Anggap saja sebelumnya
kita tidak pernah saling mengenal.”
Dia
tidak benar-benar ingin mengatakan itu. Dia tahu kata-katanya itu sangat
menyakitkan. Tapi dia sungguh-sungguh takut. Dia tidak siap. Dia ingin pergi,
hanya pergi.
“Aku
pergi.” Dia berucap, meninggalkan saudaranya yang masih menatapnya dengan
pandangan menyelidik. “Selamat tinggal.”―dia
mengucapkan kalimat terakhir itu dalam hati.
-:-ooOoo-:-
Aneh. Dia pucat,
melebihi aku. Apa dia demam juga?
Aneh. Semua pergi. Dia
pun seperti melarikan diri.
Aneh. Semua terasa
aneh. Dia. Orang-orang.
… Atau hanya aku?
-:-ooOoo-:-
Pintu
terbuka. Dia mengangkat kepalanya yang berat untuk melihat sosok yang memiliki
wajah yang sama dengannya berjalan masuk dengan penampilan berantakan. Adik
kembarnya. Apa yang telah terjadi padanya?
Dia
ingin sekali bertanya, tapi adiknya bahkan tak berhenti bergerak. Entah apa
yang tengah dilakukannya. Dia seperti mendadak memiliki kesibukan, padahal dia
tidak pernah seperti ini.
Dan
rasa penasarannya semakin menggebu-gebu saat dilihatnya adiknya membawa tas
besar. Mau ke mana dia?
Dengan
terpaksa dia bangkit. Menahan denyutan di kepala yang membuatnya limbung. Dia
mendatangi adiknya, dan melontarkan pertanyaan, “Kau mau ke mana?”
“Pergi.”
Hanya
itu jawaban yang didapatnya. Dan dia tidak puas.
“Ke
mana? Ada urusan?”
“Ya.”
“Lama?”
“Sejak
kapan sih kau jadi cerewet?”
“Kau
pucat. Aku khawatir.”
Dia
tidak berbohong. Adiknya sungguh-sungguh pucat. Bahkan melebihi dirinya yang
memang sedang sakit.
“Aku
baik-baik saja.”
Dia
tidak ingin percaya kata-kata itu. Ada yang aneh. Ada yang salah.
“Aku
pergi.”
Lalu
dua kata itu berlalu begitu saja. Adiknya melangkah tanpa bisa dia cegah. Dia
tidak tahu apa yang tengah terjadi. Sama sekali tidak mengerti. Dan mencoba
mencerna semua ini membuat kepalanya semakin berdenyut-denyut. Dia tidak ingin
istirahat―tapi sepertinya dia sangat membutuhkannya.
Tapi
rencana istirahat itu tidak pernah terjadi.
Tidak
lama setelah itu, pintu kembali diketuk. Dan dia tidak yakin dengan apa yang
terjadi selanjutnya.
Keanehan
itu muncul berkali-kali, hingga akhirnya memuncak di penghujung hidupnya.
Apa
yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan itu hanya menggantung tanpa bisa terjawab.
-:-ooOoo-:-
Apa itu hidup?
Apa itu tanggung jawab?
Apa itu … mati?
Pertanyaan itu menggantung begitu
saja.
Dia … aku … Tuhan … siapa yang
patut disalahkan?
Lagi-lagi, semua hanya menggantung.
Tapi semua tahu, ini adalah
kesalahan.
Satu kesalahan yang berujung
kesalahan lain.
Yang menimbulkan rangkaian
kesalahan layaknya jaring laba-laba.
Satu, dua, tiga … seribu kesalahan
Benarkah salah?
Atau ini hanya rangkaian titik yang
telah ditakdirkan
Hanya menunggu untuk dirangkai
menjadi pola?
-:-ooOoo-:-
Sosok
itu di sana. Diam. Bisu. Dan dia juga berharap dibutakan saja.
Ini berawal dari mana?
Pertanyaan
itu terus berputar di pikirannya. Dan semua pola yang ditariknya menghasilkan
satu kesimpulan yang sama; dia.
Ini
salahnya. Dia adalah akar.
Dan
kini dia tidak tahu bagaimana cara menebus semua kesalahan ini.
Satu…,
dua…, oh, tidak, ada tiga. Tiga nyawa telah pergi. Dan mungkin akan ada yang
keempat.
Malaikat
maut pasti tengah tersenyum. Mungkin sang shinigami
diam-diam mengajaknya berteman.
Apakah
artinya dia akan menjadi yang kelima?
Sebuah
senyum sinis tersampir di bibirnya.
Apakah
semua tokoh harus mati?
Kali
ini, dia ingin tertawa.
Sandiwara
macam apa ini? Sutradaranya pastilah sangat buruk. Sutradara dengan selera
humor yang mengerikan.
Dan
sutradara itu adalah … Tuhan.
Ya!
Tuhan yang maha tidak humoris!
Dia
membenci alurnya! Dia membenci semua pemerannya! Dia benci aktingnya! Dia benci
endingnya! Dia benci … benci … benci….
Ini
kesalahan. Ini semua adalah kesalahan!
-:-ooFINoo-:-
A/N: Lagi-lagi satu cerpen yang dibuang sayang. Saya suka cerpen ini sebenarnya. Hanya saja, mungkin cerpennya memang aneh ya? Haha XD
Well, mohon jangan kopas tanpa izin ya! :3