Protected by Copyscape Website Copyright Protection

Rabu, 03 April 2013

Feel My Soul


 “Kenapa?”
Pertanyaan itu menggantung begitu saja, tenggelam oleh suara derasnya hujan yang menghujam tanah di sekeliling mereka. Bahkan derai air matanya pun sudah menyatu dengan air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya.
Dengan gemetar dia memeluk jaket kusam yang menggantung di bahu. Perlahan, dia berjalan, mengikuti iringan langkah dari pemuda di sampingnya. Pemuda itu hanya diam, tidak mengucapkan kata apa pun sedari tadi. Bahkan ekspresi wajahnya begitu sulit ditebak.
“Maaf.”
Kata itu lagi-lagi hanya menggantung di udara saat dia mengucapkannya. Dia menggigit bibir, menahannya agar tidak gemetar. Tubuhnya dingin, karena hujan, juga karena kehadiran pemuda itu.
Dari awal, harusnya dia tahu semua ini akan terjadi. Harusnya dia sudah cukup dewasa untuk mengerti kalau karma itu sungguhan ada. Tapi dia selalu menolak, karena matanya telah tertutup oleh silaunya kebahagiaan semu.
Tiga bulan yang lalu, di hari berhujan yang hampir sama, dia sudah menyakiti perasaan pemuda itu. Meninggalkannya hanya untuk pemuda lain yang ternyata hanyalah seorang penggombal ulung. Saat itu, dia adalah gadis paling bodoh sedunia. Dan kini rasa penyesalan itu berlipat ganda karena pemuda itu, yang disakitinya, ada di sini.
Gilang hanyalah pemuda biasa. Tidak begitu spesial. Mungkin itu juga yang membuat Intan mengabaikannya dengan begitu mudah. Bahkan saat dia memutuskan hubungan mereka, Gilang sama sekali tidak marah padanya. Ah, atau lebih tepatnya Intan tidak peduli Gilang akan marah atau tidak.
Sedangkan Agni adalah segalanya. Dia tampan, kaya, dan romantis. Agni tidak pernah ragu untuk memujinya atau mengucapkan kata cinta berkali-kali. Dia juga tidak pernah lupa untuk membelikan Intan berbagai hadiah. Semua perlakuan pemuda itu membuatnya buta.
Kini, di bawah guyuran hujan, dia menyadari kesalahannya. Saat Agni mencampakkannya bagai barang bekas. Membuang dan melupakannya seperti yang dulu pernah dia lakukan pada Gilang. Sedangkan Gilang, pemuda itu datang. Memeluknya, menyampirkan jaket kusam miliknya untuk melindungi Intan yang sebenarnya sudah basah kuyup. Lalu menggiringnya dalam sunyi ke tempat yang lebih hangat.
Tidak ada kata. Gilang tidak pernah memulai percakapan. Dia selalu melakukan segala hal dalam diam. Dalam ketenangan yang terkadang membosankan. Tidak ada rayuan, kata cinta, bahkan kemarahan. Begitu sulit menebak apa yang dia pikirkan.
Sikap pendiam pemuda itulah yang dulu membuat Intan gerah. Dia merasa tidak dicintai hanya karena pemuda itu tidak pernah mengatakan mencintainya. Merasa tidak dihiraukan hanya karena pemuda itu tidak banyak bicara.
Padahal, dia tahu, di sudut hatinya yang terdalam, Gilang selalu mencintainya. Dia tidak menunjukkannya dalam kata-kata, dia menunjukkannya dalam sikap. Gilang tidak pernah memberikannya hadiah, tapi pemuda itu selalu ada saat dia membutuhkan. Dia jarang mengatakan betapa dia mencintai Intan, tapi dia tidak pernah lelah berdiri di sampingnya, mendengarkan seluruh keluh kesahnya.
Bagaimana mungkin segala hal itu tidak cukup? Bagaimana mungkin Intan dengan bodohnya lari ke pelukan pemuda lain yang nyatanya sama sekali tidak setia?
“Kau harus ganti baju.”
Kalimat itu adalah kalimat pertama yang meluncur dari bibir Gilang sejak pertemuan mereka tadi. Kini, tanpa Intan sadari―karena pikirannya yang berlarian entah ke mana―ternyata mereka sudah berada di dalam mobil Gilang yang hangat. Meski tubuhnya masih merasakan rasa dingin yang sama.
“Ba-bagaimana kautahu?”
Intan yakin Gilang mengerti maksud pertanyaan yang ambigu itu, karena setelahnya dia menyahut, “Aku tahu segalanya tentangmu.”
Bahkan jawaban itu sudah diduganya.
“Kenapa kau masih begitu peduli padaku? Setelah…. Setelah … semua yang sudah kulakukan?”
Gilang tidak menjawab pertanyaannya. Dia menginjak pedal gas perlahan, mulai menggerakkan mobilnya menyusuri jalanan. Lagi-lagi membiarkan pertanyaan Intan menggantung begitu saja.
Gadis itu memeluk jaket di pundaknya, mencari sisa kehangatan dari balik kainnya yang basah. Aroma tubuh Gilang ada di sana, membekas, dan tidak mau hilang. “Kenapa?” Pertanyaan itu meluncur lagi dari bibirnya tanpa bisa dicegah.
“Kau tahu kenapa.” Jawaban ambigu itu akhirnya meluncur dari bibir Gilang. Dia menghela napas lelah. “Kau tahu aku mencintaimu―selalu.”
Ya, Intan tahu. Dia hanya ―pernah di suatu masa― tidak ingin mengetahuinya. “Aku bukanlah gadis yang baik,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Aku tidak peduli.” Intan melirik Gilang di sebelahnya yang kini memfokuskan pandangannya ke jalanan yang lengang. “Yang kupedulikan, aku merasa sakit saat melihatmu seperti ini.”
Bahkan setelah semua yang Intan lakukan? Bahkan setelah dia menyakiti Gilang?
Air mata yang sempat mengering tadi kembali mengalir. Kali ini bukan untuk menangisi Agni, tapi menangisi dirinya sendiri. Menangisi segala keegoisan yang dirinya miliki.
Mobil itu mendadak menepi. Menimbulkan guncangan pelan pada tubuh Intan, tapi hanya sesaat, karena selanjutnya tubuhnya tidak lagi berguncang. Tubuh itu ditahan oleh sebuah lengan yang begitu hangat. Sangat hangat hingga membuatnya lupa dengan pakaian basah yang dia kenakan.
“Jangan pernah lakukan hal bodoh seperti ini lagi.” Dia bisa merasakan napas Gilang di telinganya. Pelukan dari pemuda itu terasa menguat. “Kau tahu, sejak awal aku adalah milikmu. Bahkan di saat kau pergi meninggalkanku, melukaiku, mengabaikanku. Aku tetap akan ada di sini. Menunggumu untuk kembali. Karena aku mencintaimu. Cukup ingat itu.”
Pemuda itu menarik wajahnya, menatap wajah Intan lekat-lekat. Sebelah tangannya bergerak, menghapus air mata di pipi gadis itu. “Maaf karena aku tidak pernah bisa menjadi sempurna untukmu,” gumamnya.
Intan menggeleng. Dia menggigit bibir. “Kau sempurna. Sangat. Akulah…. Akulah yang―”
“Sudahlah.” Pemuda itu kembali memeluknya erat. Tidak lagi bersuara. Hanya ada jantungnya yang berdetak begitu cepat.
Kali ini, detik ini, Intan menyadari, cinta bukanlah saat Agni mengatakan hingga bosan kalau dia mencintai Intan. Cinta bukanlah saat Agni memberikannya begitu banyak hadiah. Cinta adalah … saat Gilang ada di sini, bersamanya. Tidak butuh kata-kata rayuan apa pun. Karena cinta yang Gilang berikan, adalah tindakan nyata. Cinta yang sesungguhnya.
“Terima kasih.”
Dan Intan tidak ingin melepaskan kehangatan yang Gilang berikan, lagi.

Protected by Copyscape Plagiarism Checker