“Kenapa?”
Pertanyaan
itu menggantung begitu saja, tenggelam oleh suara derasnya hujan yang menghujam
tanah di sekeliling mereka. Bahkan derai air matanya pun sudah menyatu dengan
air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya.
Dengan
gemetar dia memeluk jaket kusam yang menggantung di bahu. Perlahan, dia
berjalan, mengikuti iringan langkah dari pemuda di sampingnya. Pemuda itu hanya
diam, tidak mengucapkan kata apa pun sedari tadi. Bahkan ekspresi wajahnya
begitu sulit ditebak.
“Maaf.”
Kata
itu lagi-lagi hanya menggantung di udara saat dia mengucapkannya. Dia menggigit
bibir, menahannya agar tidak gemetar. Tubuhnya dingin, karena hujan, juga
karena kehadiran pemuda itu.
Dari
awal, harusnya dia tahu semua ini akan terjadi. Harusnya dia sudah cukup dewasa
untuk mengerti kalau karma itu sungguhan ada. Tapi dia selalu menolak, karena
matanya telah tertutup oleh silaunya kebahagiaan semu.
Tiga
bulan yang lalu, di hari berhujan yang hampir sama, dia sudah menyakiti
perasaan pemuda itu. Meninggalkannya hanya untuk pemuda lain yang ternyata hanyalah
seorang penggombal ulung. Saat itu, dia adalah gadis paling bodoh sedunia. Dan
kini rasa penyesalan itu berlipat ganda karena pemuda itu, yang disakitinya,
ada di sini.
Gilang
hanyalah pemuda biasa. Tidak begitu spesial. Mungkin itu juga yang membuat
Intan mengabaikannya dengan begitu mudah. Bahkan saat dia memutuskan hubungan
mereka, Gilang sama sekali tidak marah padanya. Ah, atau lebih tepatnya Intan
tidak peduli Gilang akan marah atau tidak.
Sedangkan
Agni adalah segalanya. Dia tampan, kaya, dan romantis. Agni tidak pernah ragu
untuk memujinya atau mengucapkan kata cinta berkali-kali. Dia juga tidak pernah
lupa untuk membelikan Intan berbagai hadiah. Semua perlakuan pemuda itu
membuatnya buta.
Kini,
di bawah guyuran hujan, dia menyadari kesalahannya. Saat Agni mencampakkannya
bagai barang bekas. Membuang dan melupakannya seperti yang dulu pernah dia
lakukan pada Gilang. Sedangkan Gilang, pemuda itu datang. Memeluknya, menyampirkan
jaket kusam miliknya untuk melindungi Intan yang sebenarnya sudah basah kuyup.
Lalu menggiringnya dalam sunyi ke tempat yang lebih hangat.
Tidak
ada kata. Gilang tidak pernah memulai percakapan. Dia selalu melakukan segala
hal dalam diam. Dalam ketenangan yang terkadang membosankan. Tidak ada rayuan,
kata cinta, bahkan kemarahan. Begitu sulit menebak apa yang dia pikirkan.
Sikap
pendiam pemuda itulah yang dulu membuat Intan gerah. Dia merasa tidak dicintai
hanya karena pemuda itu tidak pernah mengatakan mencintainya. Merasa tidak
dihiraukan hanya karena pemuda itu tidak banyak bicara.
Padahal,
dia tahu, di sudut hatinya yang terdalam, Gilang selalu mencintainya. Dia tidak
menunjukkannya dalam kata-kata, dia menunjukkannya dalam sikap. Gilang tidak
pernah memberikannya hadiah, tapi pemuda itu selalu ada saat dia membutuhkan. Dia
jarang mengatakan betapa dia mencintai Intan, tapi dia tidak pernah lelah berdiri
di sampingnya, mendengarkan seluruh keluh kesahnya.
Bagaimana
mungkin segala hal itu tidak cukup? Bagaimana mungkin Intan dengan bodohnya lari
ke pelukan pemuda lain yang nyatanya sama sekali tidak setia?
“Kau
harus ganti baju.”
Kalimat
itu adalah kalimat pertama yang meluncur dari bibir Gilang sejak pertemuan
mereka tadi. Kini, tanpa Intan sadari―karena pikirannya yang berlarian entah ke
mana―ternyata mereka sudah berada di dalam mobil Gilang yang hangat. Meski
tubuhnya masih merasakan rasa dingin yang sama.
“Ba-bagaimana
kautahu?”
Intan
yakin Gilang mengerti maksud pertanyaan yang ambigu itu, karena setelahnya dia
menyahut, “Aku tahu segalanya tentangmu.”
Bahkan
jawaban itu sudah diduganya.
“Kenapa
kau masih begitu peduli padaku? Setelah…. Setelah … semua yang sudah
kulakukan?”
Gilang
tidak menjawab pertanyaannya. Dia menginjak pedal gas perlahan, mulai menggerakkan
mobilnya menyusuri jalanan. Lagi-lagi membiarkan pertanyaan Intan menggantung
begitu saja.
Gadis
itu memeluk jaket di pundaknya, mencari sisa kehangatan dari balik kainnya yang
basah. Aroma tubuh Gilang ada di sana, membekas, dan tidak mau hilang. “Kenapa?”
Pertanyaan itu meluncur lagi dari bibirnya tanpa bisa dicegah.
“Kau
tahu kenapa.” Jawaban ambigu itu akhirnya meluncur dari bibir Gilang. Dia
menghela napas lelah. “Kau tahu aku mencintaimu―selalu.”
Ya,
Intan tahu. Dia hanya ―pernah di suatu masa― tidak ingin mengetahuinya. “Aku
bukanlah gadis yang baik,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Aku
tidak peduli.” Intan melirik Gilang di sebelahnya yang kini memfokuskan pandangannya
ke jalanan yang lengang. “Yang kupedulikan, aku merasa sakit saat melihatmu
seperti ini.”
Bahkan
setelah semua yang Intan lakukan? Bahkan setelah dia menyakiti Gilang?
Air
mata yang sempat mengering tadi kembali mengalir. Kali ini bukan untuk
menangisi Agni, tapi menangisi dirinya sendiri. Menangisi segala keegoisan yang
dirinya miliki.
Mobil
itu mendadak menepi. Menimbulkan guncangan pelan pada tubuh Intan, tapi hanya
sesaat, karena selanjutnya tubuhnya tidak lagi berguncang. Tubuh itu ditahan
oleh sebuah lengan yang begitu hangat. Sangat hangat hingga membuatnya lupa
dengan pakaian basah yang dia kenakan.
“Jangan
pernah lakukan hal bodoh seperti ini lagi.” Dia bisa merasakan napas Gilang di
telinganya. Pelukan dari pemuda itu terasa menguat. “Kau tahu, sejak awal aku
adalah milikmu. Bahkan di saat kau pergi meninggalkanku, melukaiku, mengabaikanku.
Aku tetap akan ada di sini. Menunggumu untuk kembali. Karena aku mencintaimu. Cukup
ingat itu.”
Pemuda
itu menarik wajahnya, menatap wajah Intan lekat-lekat. Sebelah tangannya
bergerak, menghapus air mata di pipi gadis itu. “Maaf karena aku tidak pernah
bisa menjadi sempurna untukmu,” gumamnya.
Intan
menggeleng. Dia menggigit bibir. “Kau sempurna. Sangat. Akulah…. Akulah yang―”
“Sudahlah.”
Pemuda itu kembali memeluknya erat. Tidak lagi bersuara. Hanya ada jantungnya
yang berdetak begitu cepat.
Kali
ini, detik ini, Intan menyadari, cinta bukanlah saat Agni mengatakan hingga
bosan kalau dia mencintai Intan. Cinta bukanlah saat Agni memberikannya begitu
banyak hadiah. Cinta adalah … saat Gilang ada di sini, bersamanya. Tidak butuh
kata-kata rayuan apa pun. Karena cinta yang Gilang berikan, adalah tindakan
nyata. Cinta yang sesungguhnya.
“Terima
kasih.”
Dan
Intan tidak ingin melepaskan kehangatan yang Gilang berikan, lagi.