Protected by Copyscape Website Copyright Protection

Minggu, 09 Desember 2012

Just Rumbling Gaje


Berlari tanpa henti. Meninggalkan setiap deru napas dan detak tak berbentuk.

Kaki ini, kaki kecil yang rapuh. Terus berusaha menjauh dan berharap bisa membawa tubuh kecil tak berguna ini menghilang.

Semua terlalu sulit dimengerti oleh otak kecilku. Aku hanya tahu satu, semua orang membenciku.

Tanpa teman, tanpa siapa-siapa, tanpa kasih sayang dan tanpa cinta. Entah sejak kapan satu per satu orang yang mengenalku menjauhiku.

Apa salahku? Hanya itu yang terus aku pikir. Tapi nihil, kosong, hampa. Aku tidak menemukan apa pun. Aku tidak pernah mendapatkan jawaban apa pun.

Aku tidak mengerti apa itu cinta. Aku juga tidak mengerti bagaimana mendapatkannya. Aku hanya tahu bahwa cinta bisa mengobati lukaku. Sebuah luka yang cukup besar dan perih di dadaku.

Aku telah mencoba meraihnya. Aku telah berusaha mendapatkannya. Tapi semua sama saja. Mereka meninggalkanku. Mereka menjauhiku.

Aku kecewa, aku benci semua ini, karena itu aku melawan. Aku berharap semua berakhir jika aku memberontak. Tapi ternyata lubang di dadaku semakin lebar. Dendamku semakin menumpuk dan lebih tak dipedulikan.

Aku menemukan jawaban dari kelemahanku saat aku melihatmu.

Waktu itu musim semi. Bunga Sakura yang cantik mewarnai setiap sudut jalan. Dan kau di sana. Di bawah salah satu pohon Sakura, meringkuk sendirian.

Aku tahu apa yang kaurasakan saat itu. Aku tahu bagaimana rasanya. Perih dan sangat sakit, bukan?

Saat itu aku sadar, aku tidak sendiri. Kau memiliki lubang yang sama denganku. Kau juga meminta sesuatu yang disebut cinta itu. Kau membutuhkannya untuk menyembuhkan lukamu, persis seperti aku.

Aku berjalan mendekatimu. Hanya untuk memastikan apa yang ada dipikiranku. Tapi kau menatapku ketakutan. Aku sudah biasa. Setiap orang selalu begitu padaku. Aku terus melangkah perlahan berusaha meyakinkan dirimu bahwa aku tidak akan melukaimu. Meyakinkanmu agar mau membagi luka itu bersamaku.

Aku tidak tahu mengapa. Aku hanya mengikuti naluriku. Aku hanya melakukan yang tubuhku inginkan. Saat itu aku memang gila. Tapi aku beruntung karena telah mencoba. Jika tidak, kita tidak mungkin bersama seperti ini.

Dulu, aku selalu berpikir kalau aku adalah pria paling sial di dunia ini. Manusia yang paling tidak diinginkan. Tapi kau mengubahnya. Kini, aku adalah pria paling beruntung yang pernah ada. Manusia yang sangat kau inginkan.

Setidaknya, aku bahagia setiap kau menyapaku dan tersenyum. Aku sangat bahagia saat pipimu bersemu merah setiap aku memujimu. Kau sungguh malaikat terbaik yang Tuhan kirimkan.

“Aku mencintaimu.”

Aku sangat suka saat kau mengatakan itu padaku.

Aku mencintaimu.

Cinta.

Itulah obat yang menyembuhkanku. Itu juga obat yang menyembuhkanmu.

Aku mencintaimu.

Ya, aku mencintaimu.

Terima kasih untuk obat yang telah kau berikan….


Rabu, 12 September 2012

Aku Di Sini


Aku di sini, dalam gelap yang sepi
Mencoba mencari tangga yang dapat kunaiki
Berteman angin yang bergulir sendiri
Mendesahkan semua mimpi
Berharap mentari menghampiri

Aku di sini, menangis dalam sunyi
Menyenandungkan kesenduan melodi
Menatap miris guliran waktu yang tak mau berhenti
Membiarkan semua orang melalui
Tersenyum dalam pahitnya diri

Aku di sini, terdiam sendiri, terbelenggu rantai ini
Sementara mereka berlari, tertawa serta bernyanyi
Aku di sini, bermimpi, bermimpi dan hanya bisa bermimpi
Hingga realita terenggut habis oleh mati...

Rabu, 25 Juli 2012

Tidur....

Aku terpejam...

... mataku terpejam, hatiku terpejam, duniaku terpejam.

Semuanya berputar dalam benak, bergelung-gelung, membentuk sebuah mimpi kosong yang sama sekali tak indah. Dunia itu, dunia mimpi yang membosankan, tapi aku tak mau pergi. Aku lelah untuk membuka mata dan menghadap realita. Aku bosan hidup dalam kehidupan yang selalu saja begitu.

Kehidupan yang dipenuhi orang-orang mayoritas dengan pemikiran mayoritas. Kehidupan yang hanya bisa melihat salahku, salahku dan salahku. Kehidupan yang menuntut kesempurnaan, tetapi sangat jauh dari kesempurnaan itu sendiri. Tidak ada yang benar—dan itu membosankan.

Jauh lebih membosankan dari mimpi paling membosankan sekalipun.

Kehidupan yang sama. Dunia yang sama. Hidup yang sama.

Begitu mata ini terbuka, semua kembali berputar dalam putaran yang sama.

Karena itu, aku memilih untuk tidur.

Menutup mataku rapat-rapat dan berharap tak perlu terbangun.

Terkadang, aku terpikir, mengapa kehidupan —yang membosankan— ini harus diciptakan? Mengapa aku harus ambil bagian di dalamnya? Mengapa aku harus berada di lingkaran yang sama, berputar-putar dan hidup seperti orang aneh yang mencoba melawan arus kemayoritasan?

Mimpi ini, mimpi yang sedang kujalani saat aku menutup mata, terlihat kelam, gelap dan dingin. Tetapi, dunia di sana, dunia nyata ketika mata ini terbuka, jauh lebih kelam, gelap dan dingin.

Kenyataannya, tidak ada yang namanya keajaiban, tidak ada kehidupan mendayu-dayu layaknya negeri dongeng, tidak ada kesempurnaan. Lalu, untuk apa orang bermimpi jika akhirnya harus berputar di kehidupan yang sama? Kehidupan monoton yang mayoritas dengan orang-orang berpemikiran sama?

Lebih baik hidup di alam mimpi yang kosong seperti yang kualami saat ini.

Tanpa impian. Tanpa cacian. Tanpa orang-orang yang membosankan.

Miris?

Hidupku, pemikiranku, diriku, semua tentangku memang tidak ada yang benar.

Semua salah—karena memang begitu, kan, seharusnya?

Aku lelah. Aku bosan. Aku ingin di sini, di alam mimpi ini. Terpejam dan beristirahat.

Maaf….

Karena aku tidak sempurna, dan tidak ingin menjadi bagian dari kesempurnaan itu.

Sabtu, 09 Juni 2012

I LOVE YOU (NatsuMikan Fanfiction)



Gakuen Alice © Tachibana Higuchi
Rated: T
Genre: Supernatural -?-, hurt/comfort, romance
Full Natsume PoV, OOC, Typo (s), pendek, gaje, abal dan begitu banyak kekurangan lainnya
.
.
Happy reading ^o^
.
.


Mikan…

Kau tersenyum, sebuah senyum hangat yang selalu aku rindukan. Wajahmu begitu cantik dengan rambut brunette panjang yang selalu aku sukai. Wajahmu yang bagaikan malaikat itu benar-benar selalu membuatku bergetar.

Ketika melihatmu kini telah dewasa dan bertambah cantik entah mengapa aku menjadi semakin mencintaimu. Aku sungguh-sungguh. Semakin hari rasa cinta ini tidak pernah berkurang sedikit pun, malah rasa cinta ini selalu bertambah setiap aku melihatmu tersenyum bahagia.

Dari awal aku melihat wajah polosmu saat di ruangan si banci Narumi aku langsung menyukaimu. Mungkin waktu itu kita masih sama-sama anak kecil, tapi aku tidak terlalu bodoh untuk menyadari perasaanku. Aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu dan terus bertambah hingga kini.

Memandangimu begini adalah hal yang paling aku sukai. Kau tahu? Dalam hati aku berdoa agar bisa memandangi wajahmu yang sangat manis. Aku tidak ingin saat-saat seperti ini menghilang, aku ingin selalu begini selamanya.

Aku teringat hari-hari yang kita lalui bersama di akademi. Aku sangat ingat ciuman pertama kita. Sebuah ciuman yang sangat aku sukai tepat di pohon natal, yah minus tabrakan gigi saat kita berdansa. Hahaha…  aku selalu ingin tertawa saat mengingatnya. Kau benar-benar polos. Dan itu benar-benar ciuman pertamaku juga tahu! Jadi stop mencapku sebagai pria mesum. Aku hanya mesum padamu, Mikan.

Aku ingat saat kau berusaha membantu semua sahabatmu dan aku. Kau menyelamatkan adikku. Kau memberikan Alice stone-mu padaku karena kau yakin aku akan sangat membutuhkannya. Dan semua itu benar-benar membuatku tersentuh.

Kau telah banyak mengubahku, mengubah hidupku. Kau selalu berusaha melindungiku meskipun kau lemah. Tidak! Kau tidak lemah, kau sangat kuat. Kau adalah wanita terkuat yang pernah aku kenal seumur hidupku. Akulah yang lemah, aku sangat lemah hingga harus selalu melibatkanmu dalam masalah-masalah yang tidak ada hubungannya denganmu. Aku sangat lemah hingga membutuhkanmu untuk melindungiku.
Kau berjalan mendekat, masih dengan senyummu yang menawan.

Kini aku yakin, aku tidak mungkin pernah bisa melupakanmu seumur hidupku. Aku tidak mungkin pernah bisa membencimu. Aku tidak mungkin berhenti mencintaimu. Aku akan selalu menyayangi setiap hari dan tidak akan berubah. Pegang janjiku Mikan.

Mikan. Kau tahu? Aku merasa kita seperti jodoh? Namamu berarti Jeruk kan? Dan aku Jojobe. Nama kita sama-sama berasal dari buah. Semua seolah sudah ditakdirkan, kan? Dan aku yakin kita memang jodoh. Jika tidak, mengapa kita harus bertemu? Maka yakinlah Mikan, bahwa kita akan selalu bersama, selamanya.

Gaun yang kau pakai hari ini benar-benar membuatmu melebihi malaikat. Putih, bersih dan terlihat bercahaya. Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Meskipun aku seorang pria yang menyebalkan, aku tidak suka menggombal. Jadi aku sungguh-sungguh.

Hey, lagi-lagi aku teringat masa-masa saat kita masih di akademi. Kau ingat Luna? Aku yakin dengan ingatanmu yang sangat payah itu kau tidak mungkin ingat. Waktu itu dia berusaha menjauhkan kita, kan? Dia membuatku terpaksa berpura-pura membencimu. Saat itu, entah mengapa, ada sedikit rasa senang yang menyusup di dadaku. Mungkin aku aneh? Atau gila? Tapi saat itu aku mulai menyadari kalau kau menyukaiku. Kau sangat marah dan sedih saat aku mencampakkanmu. Dan itu cukup membuatku puas.

Aku sangat mencintaimu, dan aku tahu kau juga mencintaiku, kan? Kau begitu sedih saat aku terluka setelah melakukan misi yang diberikan persona. Aku sangat membenci diriku sendiri setiap aku melihat air matamu. Aku memang pria minim ekspresi yang tidak pandai merayu. Jadi aku hanya bisa membuang mukaku saat kau menangis.

Setidaknya aku beruntung karena kau berteman dengan Hotaru. Gadis itu meski memiliki sifat yang sama denganku, tetapi dia selalu bisa membuatmu tersenyum. Aku tidak mengerti caranya. Tapi aku sempat berpikir untuk belajar darinya. Aku ingin sekali belajar agar aku bisa menghentikanmu setiap kau menangis.

Setiap mata memandang kearahmu dan memerhatikan setiap langkahmu. Kau menggandeng tangan kakekmu yang dengan setia menggiringmu. Di belakangmu, aku melihat Hotaru dan Misaki mengikutimu dengan gaun yang juga sangat cantik. Tapi kaulah yang tercantik. Aku bersumpah aku sangat ingin saat-saat ini tidak pernah berakhir.

Senyummu semakin membuatku bergetar. Jantungku berpacu dengan cepat saat kau semakin mendekat. Semua yang ada di sini berdiri dan mengembangkan senyum terindah mereka padamu yang terus melangkah perlahan. Aku benar-benar merasa waktu seperti terhenti seketika, saat beberapa langkah lagi kau mencapaiku. Aku tersenyum, sebuah senyum lebar yang hampir tidak pernah aku tunjukkan. Sebuah senyum yang hanya pernah dilihat Ayah, Aoi, Ruka, dan Kau.

Aku menyodorkan tanganku agar kau raih ketika kita hanya berjarak beberapa meter. Kau perlahan melepaskan peganganmu pada kakekmu yang tersenyum lembut. Kau menyambut uluran tanganku dengan senyum yang semakin lebar.

Tapi—

Tanganmu terlewat begitu saja, kau tidak menggapaiku. Kau menyentuh tangan lain yang berada tepat di sisi tanganku. Kau tersenyum pada pria yang berada tepat di tempatku berdiri. Kau tidak bisa melihatku, kau tidak bisa menggapaiku. Kau melewatiku begitu saja tanpa menyadari kehadiranku.

Aku di sini Mikan.

Aku melihatmu, aku mengawasimu.

Aku hadir di pestamu dan berharap akulah yang ada di sampingmu. Yah, aku memang di sampingmu. Berusaha menggapaimu, tapi semua hanya lewat begitu saja. Aku hanya kosong. Aku tembus dan tak terlihat.

Tak ada yang menyadariku. Aku hanya bisa merutuki diriku yang tak berguna.

Kau mengucapkan janji itu, janji sehidup semati di hadapan semua orang yang hadir.

Di hadapanku.

Tapi janji ini bukan untukku.

Maafkan aku Mikan karena telah meninggalkanmu lebih dulu. Maafkan aku karena telah membuatmu menangis selama ini. Maafkan aku karena hanya memberimu harapan kosong saat aku menyatakan cintaku. Maaf, hanya maaf yang bisa aku katakan kini.

Semoga kau berbahagia dengannya. Semoga kau benar-benar bisa mewujudkan mimpimu yang tertunda. Aku yakin kau akan mendapatkan keluarga kecil yang bahagia itu. Aku di sini hanya bisa menatapmu dan berharap kau akan bahagia.

Buatlah diriku beristirahat dengan tenang selamanya dengan senyummu. Aku akan melindungimu meski kita telah berada di alam yang berbeda.

Aku mencintaimu Mikan. Selamanya….


.
.
~~FIN~~
.
.
A/N: Salah satu fic gaje yang setelah aku pertimbangkan, sebaiknya aku publish di blog saja… Fic ini sudah aku buat sekitar satu tahun yang lalu sebenarnya. X”P

Jumat, 08 Juni 2012

Because He is Itachi (Fanfiction)


.
.
Disclaimer:
Naruto miliknya Masashi Kishimoto. Saya tidak meraih keuntungan material apa pun dalam membuat fanfiksi ini selain hanya untuk kesenangan semata.

Warning: Canon, Typo(s), loncat-loncat, mungkin sangat abal dan gaje karena sejujurnya saya tidak pernah membuat fic canon sebelumnya dan kurang tahu tentang seluk beluknya, yang pasti fic ini penuh dengan kekurangan. m(_ _)m
.
Sebuah hadiah kecil untuk Itachi Uchiha.

Meski karir(?)mu di manga Naruto akan berakhir, kau tetaplah bagian terpenting yang tidak akan pernah terlupakan….
.
Enjoy!
.
.

“Bagaimana jika kau bukanlah seorang Uchiha yang berbakat?”
“Mungkin hidup tidak akan sesulit ini.”

.
.
Cahaya lilin yang berpendar menerangi wajah Fugaku yang duduk di tempatnya dalam diam. Tidak ada satu pun senyum yang terhampar di bibirnya, membuat kerutan-kerutan yang menghiasi wajahnya semakin tergambar jelas. Matanya yang gelap terlihat mencoba mendominasi mata lawan bicaranya yang tidak kalah gelap. Aura ketegasan dan kepemimpinan terhampar jelas di sekelilingnya. Di hadapannya, dihalangi oleh sebuah meja kecil, anak sulungnya duduk dalam diam. Entah apa yang tengah dipikirkannya, Fugaku tidak terlalu peduli.

“Kau tahu, kan, apa yang harus kaulakukan, Itachi?” Suara penuh wibawa yang dimiliki Fugaku mengudara setelah sekian lama ia terdiam.

Itachi yang sedari tadi turut diam itu meraih gelas teh yang sudah mendingin sejak tadi. Ia menyecapnya sejenak sebelum memandang ayahnya dengan sungguh-sungguh. “Aku tahu, Tou-san.”

Nada suara Itachi yang penuh dengan keyakinan itu membuat Fugaku menarik napas lega sekilas. Tetapi, jika ia melihat ekspresi wajah anaknya itu dengan lebih saksama, mungkin ia akan menemukan ekspresi lain yang sayangnya tidak pernah disadarinya.

“Aku tahu kau tidak akan mengecewakanku. Bagaimanapun kau adalah anakku.”

“Aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan.”
.
.
.
.
.
Hari itu, seperti kebanyakan hari lainnya, Itachi tengah bersiap untuk pergi melaksanakan tugasnya sebagai kapten ANBU. Saat itu adik laki-lakinya mendatanginya. Wajah polos dan menggemaskan yang dimilikinya membuat Itachi mengukir sebuah senyum tipis di bibirnya.

Nii-san! Temani aku latihan ya hari ini?” pinta adiknya itu.

“Maaf Sasuke, hari ini Nii-san tidak bisa.” Itachi memandang wajah memohon adiknya. “Kau latihan sendiri saja, ya?”

Sasuke, nama adiknya itu, menekuk wajahnya. Terlihat sangat tidak puas dengan jawaban kakaknya itu. “Tapi, Nii-san kan sudah janji padaku,” tuntutnya.

Itachi yang melihat reaksi adiknya itu melebarkan senyumannya. Dia menggerakkan tangannya—memberi tanda pada Sasuke agar mendekat. Sasuke yang mengerti dengan maksud kakaknya itu tanpa keraguan setengah berlari mendekatinya. Tetapi belum sempat Sasuke benar-benar dekat dengan Itachi, kakaknya itu malah menyentil keningnya. “Lain kali saja, ya, Sasuke?” bujuknya.

Adik kecilnya itu semakin menekuk wajahnya. Tetapi Itachi tetap mempertahankan senyum tipisnya hingga pergi menghilang di balik pintu—mengabaikan ekspresi kecewa dari Sasuke. Andai Sasuke saat itu tahu, Itachi tidak pernah ingin mengingkari janjinya atau membuatnya kecewa. Ia hanya tidak memiliki pilihan yang jauh lebih baik daripada jalan yang diambilnya kini.
.
.

“Bagaimana jika kau bukanlah bagian dari Konoha?”
“Mungkin aku tidak akan kehilangan semuanya.”

.
.
Di ruangan yang terlihat remang karena satu-satunya pencahayaan hanya berasal dari sebuah jendela kecil di pojok ruangan, Itachi berdiri dalam diam. Tidak jauh dari tempatnya berada, sosok lain menatapnya dengan saksama. Tubuhnya yang dibalut perban membuatnya tampat menakutkan. “Apa kau akan menyuruh pasukan ANBU untuk menolongmu?” tanyanya pada Itachi. Nada suaranya yang begitu dingin sebenarnya tidak begitu disukai oleh pemuda itu.

Itachi memejamkan matanya sekilas, mencoba menghapus rasa lelah yang dideritanya. “Tidak. Saya akan melaksanakannya sendiri.”

Sosok itu terlihat mengamati Itachi sekilas. Ia tahu, Itachi sangat hebat, dan misi ini tidak mungkin gagal ia lakukan. “Jadi … kapan kau akan melakukannya?”

“Malam ini,” sahutnya.

Sosok itu berjalan keluar, terlihat cukup puas dengan jawaban Itachi dan sebelum ia benar-benar keluar dari pintu, ia berkata, “Aku harap kau melakukan misi ini dengan sempurna.”

Itachi tidak berkata apa pun saat melihat sosok itu pergi meninggalkannya sendirian. Sejenak ia menghela napas. Diliriknya langit yang terlihat dari balik jendela kecil di ruangan itu. Semuanya akan berakhir malam ini. Inilah takdir yang sudah dipilihnya. Demi kebaikan semua orang—demi kebaikan Konoha.
.
.
.
.
.
Sasuke tahu ia terlambat pulang karena terlalu asik berlatih. Bulan telah menunjukkan sosoknya dari tadi. Dengan cepat ia melangkahkan kakinya menuju ke pemukiman Uchiha, berharap ia tidak membuat ibunya terlalu khawatir karena terlambat. Sebuah senyum tipis terukir di wajahnya. Ia sudah sedikit lebih lihai menggunakan shuriken dan Sasuke tidak sabar untuk memamerkannya pada Itachi.

Senyum itu masih terukir di wajahnya hingga ia menyadari ada sesuatu yang aneh terjadi ketika ia baru saja memasuki gerbang tempat kediaman Uchiha berada. Tidak ada satu pun lampu yang menyala, padahal ini belum terlalu larut. Kekagetannya semakin menjadi saat ia melihat sosok-sosok dari keluarga Uchiha yang begitu dikenalnya tidak lagi bernyawa, tubuh mereka bergelimpangan di sepanjang jalan.

Sasuke semakin mempercepat langkahnya menuju rumah. Wajahnya memucat, yang ada di pikirannya hanyalah keselamatan kedua orang tuanya. Tetapi harapannya musnah, dia menemukan kedua orang tuanya tidak lagi bernyawa. Dan di sisi mayat keduanya, Itachi berdiri. Memamerkan ekspresi yang tidak pernah dikenal oleh Sasuke. Saat itu ia tahu, Itachi-lah yang membunuh semuanya.

Sejak saat itu semuanya berubah bagi Sasuke. Tidak ada lagi impian-impian kecil yang selama ini menghiasi hidupnya. Tujuan hidupnya hanya satu, membunuh Itachi. Persis seperti yang Itachi inginkan. Menciptakan Sasuke untuk menjadi sosok yang akan mengadilinya atas keputusannya ini.

Tanpa pernah Sasuke sadari, hari itu, Itachi pergi meninggalkan dendam untuknya dengan berbalut air mata. Dia telah menciptakan skenario terbaik untuk membuat adiknya itu menjadi seorang pahlawan. Ya, Itachi mencintai desanya, tetapi ia jauh lebih mencintai adiknya. Dan dalam hati ia berharap, apa yang ia lakukan ini tidak sia-sia.
.
.

“Bagaimana jika kau bukanlah seorang kakak?”
“Mungkin aku tidak akan menjadi seorang pembohong besar.”

.
.
“AKU AKAN MEMBUNUHMU, ITACHI UCHIHA!”

Itachi menatap adiknya dengan tenang saat Sasuke menyerangnya dengan menggunakan chidori. Awalnya, ia memang sedikit terkejut dengan kehadiran adiknya itu, dan ekspresinya sedikit berubah saat menyadari Sasuke bisa menggunakan chidori yang setahunya hanya dimiliki oleh Kakashi. Tetapi, dengan begitu mudah Itachi kembali membuat ekspresi wajahnya sedatar semula, ia tidak melakukan banyak gerakan saat menangkap pergelangan tangan Sasuke saat ia menyerangnya.

Sebenarnya, Itachi tidak ingin melukai Sasuke. Jauh di dasar hatinya, ia ingin sekali mengucapkan rasa rindu dan sayangnya pada adiknya yang mulai tumbuh besar itu. Ia ingin kembali ke masa-masa di mana semuanya terasa baik-baik saja. Tetapi ia tahu, ia tidak bisa.

Saat Jiraiya berhasil datang untuk melindungi Naruto dari penyerangannya bersama Kisame, Itachi tahu kalau ia harus membuat sandiwara yang dibuatnya ini terlihat meyakinkan. Ia mematahkan lengan Sasuke dan memengaruhi Sasuke dengan genjutsu-nya. Semuanya ia lakukan dengan sangat baik dan meyakinkan.

Itachi tahu, setelah ini, Sasuke akan jauh lebih membencinya. Bahkan temannya yang jinchuriki itu sepertinya cukup percaya dengan semua kejahatan yang ia lakukan. Ia tahu, ia akan tersudut. Ia akan semakin dikenal sebagai penjahat. Tetapi justru itulah yang ia inginkan. Ia hanya tinggal menunggu Sasuke jauh lebih siap untuk menghukumnya.
.
.
.
.
.
Itachi tahu, ini adalah hari terakhir baginya melihat dunia. Ia sudah merencanakan semuanya sejak bertahun-tahun yang lalu dan menunggu hari ini. Ia akan menyerahkan nyawanya untuk Sasuke. Tetapi sebelumnya, ia akan berusaha untuk membersihkan tubuh Sasuke dari Orochimaru yang berusaha mencari kesempatan mengambil alih dirinya.

Dengan segala kebohongan yang ia ciptakan, Itachi terus bersandiwara. Menarik Sasuke agar semakin semangat membunuhnya. Membiarkan adiknya itu mengerahkan seluruh kemampuannya dan berharap chakra adiknya itu segera habis agar ia bisa memaksa Orochimaru keluar dari tubuhnya sebelum chakra milik Itachi sendiri habis.

Ia mengeluarkan berbagai teknik mata yang bisa dilakukan oleh mangekyo sharingan-nya. Ia tahu, Sasuke tidak kalah cerdas darinya. Pemuda itu pasti bisa mempelajari semuanya hanya dengan melihat dan melawan langsung Itachi. Ia mengajari Sasuke tanpa adiknya itu sadari.

Bahkan di saat mendekati embusan napasnya yang terakhir, Itachi masih menunjukkan kebohongannya. Ia ingin segalanya terlihat meyakinkan di mata Sasuke. Ia ingin sandiwaranya berakhir dengan sukses tanpa sedikit pun cela.

Tetapi, semua kebohongan itu luntur sendirinya tepat di saat terakhirnya. Untuk pertama kali setelah bertahun-tahun lewat, ia tersenyum. Sebuah senyum tertulus yang pernah ia sunggingkan. Senyum terakhir yang menghancurkan seluruh sandiwara yang selama ini dibuatnya. Kebohongan besar yang dibuatnya, hari itu resmi berakhir dan dia puas dengan seluruh kerja kerasnya.
.
.

“Bagaimana jika kau bisa memilih untuk menjadi dirimu yang sekarang atau orang lain? Kau akan memilih untuk menjadi siapa?”
“Aku akan tetap memilih untuk menjadi diriku yang sekarang. Seorang Itachi Uchiha, shinobi dari Konoha dan kakak dari Sasuke.”

.
.
“Kau harusnya mengerti apa yang aku ingin kaulakukan. Kau adalah kakakku, jadi kau mungkin akan menolaknya. Tetapi, aku juga adalah adikmu, jadi tak peduli apa pun yang kaukatakan aku tidak akan berhenti. Bahkan di saat kau mencoba melindungi desa ini … aku akan tetap mencoba menghancurkannya.”

Itachi tahu, semua kebohongannya telah terbongkar. Ia tidak pernah tahu semua sandiwaranya diketahui oleh seseorang yang tidak pernah ingin ia pikirkan akan mengetahuinya. Pria bertopeng itu berhasil membentuk Sasuke menjadi sosok yang kini berdiri di sampingnya. Sosok yang mencintai Itachi tetapi membenci hal yang paling Itachi cintai; desa Konoha.

Ia tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubah keputusan adiknya itu. Bahkan setelah usaha kerasnya untuk menyelamatkan desa, Sasuke tetap pada pendiriannya. Ya, dari awal dia tahu, dia bukanlah kakak yang baik. Ia sama sekali tidak pernah bisa memahami keinginan adiknya itu. Ia tidak pernah memercayai kekuatan Sasuke dan justru membuat adiknya itu terjatuh semakin jauh ke kegelapan.

Tetapi seperti Itachi yang biasanya, ia sudah memikirkan segalanya. Kali ini, sebelum ia kembali menutup mata untuk ke dua kalinya, ia sudah memutuskan untuk memberikan semua tanggung jawab ini pada Naruto. Ia yakin, pemuda itu bisa mengubah adiknya. Ia juga yakin, pemuda itu bisa membawa Konoha menjadi desa yang jauh lebih baik.

Bahkan di saat terakhirnya, Itachi masih menggantungkan harapannya untuk desa dan juga untuk Sasuke.
.
.

—Karena sejak awal akulah yang memilih untuk menjadi diriku yang sekarang.
Dan tanpa semua penderitaan itu, aku tidak akan bisa berbuat yang jauh lebih baik dari ini.
Bahkan hingga waktu berlalu aku masih mencintai adikku, Konoha dan takdirku—

.
.
FIN
.
.
A/N: Oke, aku tahu ini gaje banget… Karena gaje itulah aku tidak jadi mempublishnya di FFN... Biarlah di blog ini saja.. ;;A;;

Happy b’day Itachi-kun… Apa pun yang terjadi, kau adalah pahlawan yang sesungguhnya… X)

Jumat, 23 Maret 2012

Itachi's Quotes



_(To Sasuke) "Forgive me Sasuke… Again, next time." (「許せサスケ…また今度だ」, "Yuruse Sasuke… Mata kondo da.")




_(To Sasuke) "Being skilled isn't all that's it's made out to be. When you're strong, you become arrogant and withdrawn. Even if what you sought after was your dream."




_(To Sasuke) "You and I are flesh and blood. I'm always going to be there for you, even if it's only as an obstacle for you to overcome. Even if you do hate me. That's what big brothers are for."




_(To Sasuke as an infant) "Don't cry, Sasuke. Your big brother is here to protect you, no matter what happens."




_(To Nekomata) "Growth occurs when one goes beyond one's limits. Realising that is also part of training."




_(To the Uchiha clansmen) "I've had enough, there's no hope left for this pathetic clan."




_"The people of this clan are all the same. You focus on the trivial, and lose sight of what's most important. Change is impossible, in this fog of ignorance. How can we evolve when regulation is all we know?"




_"You hold onto the organisation and your clan name. These things limit us and limit our capacities… These things deserve to be shunned. It is foolish to fear what we've yet to see and know!"




_(To Sasuke) "Foolish little brother, if you wish to kill me, hate me, detest me. And yet survive in an unsightly way. Run, run and cling to life, and when you have the same eyes as mine, come to me."




_(To Kisame) "Those who turn their hands against their comrades are sure to die a terrible death."




_(To Kisame, after he related the story of the sharks) "We are humans, not fish. We don't know what kind of people we truly are until the moment before our deaths. As death comes to embrace you, you will realise what you are. That's what death is, don't you think?"




_(To Naruto) "You're still acting like a child. You're living in a fantasy world. You need to come to terms with the fact that you, as a ninja, will be forced to make impossible decisions like this."




_(To Sasuke) "People live their lives bound by what they accept as correct and true. That's how they define "reality". But what does it mean to be "correct" or "true"? Merely vague concepts… their "reality" may all be a mirage. Can we consider them to simply be living in their own world, shaped by their beliefs?"




_(Last words to Sasuke) "Forgive me Sasuke… …It ends with this." (「許せサスケ……これで最後だ」, "Yuruse Sasuke… …Kore de saigo da.")




_(To Naruto) "I'm grateful that my little brother has a friend like you."




_(About Shisui's teachings to him) "Self-sacrifice… A nameless shinobi who protects peace within its shadow… That is a true shinobi."




_(To Naruto) "Your dream was your father's dream, wasn't it? Remember this well then. The village did not acknowledge him because he became Hokage. He became the Hokage because the village acknowledged him."




_(To Sasuke) "You didn't know anything about what was happening at that time… You did not know anything about the Uchiha clan's foolish idea… you were just a kid. Plus it wasn't for your sake alone… I also thought that one day I should be judged for the crimes I committed by an Uchiha like you, for that sake I used the hatred within you… and that's why I failed. The only thing I did was, giving the hatred to you and making you flee the village… I turned you into a criminal."




_(To Sasuke about Kabuto) "Sasuke, don't listen to him. In other words, he can lie better than I can. Also… the village does have its dark side, and its inconsistencies. But I'm still Konoha's Itachi Uchiha."




_(To Kabuto) "Those who can't acknowledge their real selves are bound to fail."




_(To Kabuto) "That (imitating someone you respect) is something you do in order to grow. You can't use it as a disguise to pretend to be someone you are not."

Rabu, 21 Maret 2012

Bento... ItaHina Fanfiction

Disclaimer:

Naruto miliknya Masashi Kishimoto.

Saya hanya meminjam karakternya tanpa berniat mengambil keuntungan di dalamnya.

Just for fun!

.

Warning:

AU, OOC, Typo(s), Rush, dan banyak kekurangan lainnya

.

Happy reading ^o^

.

-:-oOo-:-

.

Di musim gugur itu semuanya berawal. Saat sekolah-sekolah diisi oleh sekumpulan murid baru di tahun ajaran baru. Murid-murid lama yang lebih akrab disebut senior mengintip dari balik meja kantin menuju sekumpulan gadis-gadis muda yang masih sangat polos. Beberapa di antaranya malah terlihat mengakrabkan diri.

Saat itu, di antara kumpulan siswi, seorang Hinata tanpa sengaja memasuki jarak pandang Itachi. Pemuda itu awalnya tidak ambil peduli. Dia memang tidak pernah sekali pun berniat untuk memedulikan orang lain. Itu sama sekali bukan dirinya.

Tapi, saat itu, semuanya berbeda. Melalui mata onyx-nya Itachi malah memerhatikan gadis pendiam yang hanya duduk sendiri di pojok kantin. Menikmati bento miliknya, lalu menunduk saat melangkah pergi. Tidak ada yang istimewa memang. Hanya justru ketidakistimewaan itulah yang sepertinya menjerat anak sulung keluarga Uchiha.

Hari terus berlalu seiring berjalannya waktu. Dan semakin hari, seorang Uchiha Itachi semakin sering bertemu dengan Hinata. Bukan sebuah pertemuan yang diiringi tegur sapa memang. Baik Itachi maupun Hinata memang belum pernah sekali pun berkenalan atau saling menegur. Segalanya hanya satu pihak bagi Itachi.

Pemuda itu, dengan koneksinya yang cukup banyak, telah berhasil mengorek seluruh informasi yang bisa didapatkannya tentang anak sulung keluaraga Hyuuga tersebut. Dia tahu kalau Hinata seorang pemalu. Dia tahu kalau Hinata sering dikatakan lemah. Dia juga tahu Hinata tidak terlalu pintar di kelasnya, tapi dia tidak bisa dikatakan bodoh. Gadis itu sangat biasa. Dan yang paling Itachi benci, dia juga tahu kalau Hinata menyukai salah seorang siswa di kelasnya.

Setiap jadwal latihan basket di sekolahnya digelar. Sekelompok siswi mulai dari yang junior hingga senior terlihat mengambil tempat untuk duduk di sekeliling lapangan. Menonton para pemain basket yang didominasi oleh laki-laki. Beberapa siswi akan berteriak dengan histeris saat salah seorang pemain basket yang memiliki wajah tampan memasukkan bolanya di ring.

Itachi berdiri di depan kelasnya yang berada di lantai dua. Melirik ke arah bawah, tempat lapangan basket berada, lalu mengalihkannya ke sisi lapangan. Seperti biasanya, seorang Hinata yang biasa, turut mengambil bagian untuk duduk di bawah pohon besar di depan ruang kelasnya yang berseberangan dengan Itachi. Gadis itu tidak bersorak seperti gadis lain saat Sasuke—adik dari Itachi yang juga memiliki banyak penggemar—berhasil memasukkan bolanya ke ring. Tapi, dia tersenyum saat seorang pemuda lain, berhasil memasukkan bola.

Itachi selalu merasa tidak suka setiap melihat Hinata begitu memerhatikan pemuda berambut pirang tersebut. Pemuda yang Itachi tahu bernama Naruto itu adalah seorang pemuda yang biasa saja. Dia tidak memiliki banyak fans seperti Sasuke ataupun dirinya. Tapi entah bagaimana, Hinata begitu menyukainya. Meski pemuda itu menyukai gadis lain.

Mungkin setiap hal yang berhubungan dengan Hinata benar-benar telah mengubah Itachi. Dari sikap yang tidak begitu peduli, menjadi pribadi yang selalu ingin tahu tentang apa pun yang ada pada Hinata. Gadis itu telah membuatnya melupakan prinsipnya sendiri. Melupakan apa yang selama ini dijunjungnya.

Hari Rabu yang cerah di musim semi, Itachi berdiri di bawah pohon sakura yang berada di dekat gerbang sekolahnya. Sudah lima belas menit yang lalu bel pulang sekolah dibunyikan. Dengan sabar pria berambut gelap itu berdiri, menunggu seorang Hinata keluar. Dia sudah sangat hafal dengan tingkah junior itu. Hinata tidak akan bersikeras untuk keluar lebih dulu dari kelas. Dia akan menunggu kelasnya sepi untuk melangkah pulang. Hinata memang terlalu pemalu untuk berjalan bersama banyak orang, dan dia tidak suka keramaian. Itachi tahu itu.

Akhirnya saat yang ditunggu pun tiba. Hinata berjalan pelan menuju gerbang. Dia menundukkan wajahnya, sehingga tidak dapat melihat Itachi yang sudah sejajar dengannya.

"Hinata."

Satu kata. Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut sang Uchiha sulung. Tapi, itu sudah sanggup untuk membuat seorang Hinata terperanjat ketika handak melewati gerbang.

"Se-senpai?"

Mata lavender itu membulat. Menunjukkan bahwa dia sungguh-sungguh tidak menduga Itachi akan menegurnya. Bagaimanapun mereka memang tidak pernah menyapa sebelumnya. Dan Hinata hanya mengenal Itachi sebagai kakak kelasnya sekaligus kakak kandung dari Sasuke yang merupakan teman sekelasnya.

"Sa-Sasuke sudah pulang dari tadi."

Itachi mengerutkan kening. Hinata sepertinya menduga Itachi sedang menunggu Sasuke.

"Aku tahu."

Kali ini, Hinata yang menautkan alis. Mungkin semuanya terlalu membingungkan. Tapi, Itachi sudah memulai, dan pantang baginya untuk mundur.

"Aku mencarimu."

Satu kejutan lagi telah membuat Hinata terlihat semakin bingung. "A-ada apa?" tanyanya.

Itachi terdiam. Tidak tahu harus memulai dari mana. Semua rencana yang sudah diaturnya seolah tidak berguna saat dirinya berada langsung dalam posisi ini. Sepertinya menghadapi seorang Hinata memang jauh lebih sulit dari pada yang dia bayangkan sebelumnya.

"Hujan." Hinata bergumam.

Itachi mendongak, menatap awan yang tiba-tiba bergerumul di langit. Setetes air membasahi keningnya. "Kau benar."

Hinata masih di tempatnya. Tapi dia terlihat ingin segera bergegas pergi. Berharap bisa mendahului hujan yang sepertinya semakin deras. Dia baru saja hendak pamit saat Itachi menarik lengannya.

"Pulang denganku saja. Aku bawa mobil."

Hinata ingin menolak. Tapi Itachi bersikeras. Tidak ada yang bisa dilakukan gadis itu kecuali menerima ajakan Itachi karena langit semakin tidak bersahabat. Akhirnya hari itu, seorang Itachi berhasil mengajak Hinata pulang bersamanya. Meski dibantu oleh sedikit bantuan dari Tuhan. Hujan itu merupakan sebuah keajaiban tersendiri bagi Itachi dan dia bersyukur karenanya.

.
-:-oOo-:-
.

Hinata menunduk dalam-dalam. Mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah, hendak menangis. Siang itu, dia membawa bento buatannya sendiri untuk diberikan pada Naruto seusai pemuda itu latihan basket. Tapi kali ini dia gagal, karena Sakura telah lebih dulu menghampiri pemuda itu dan memberikannya se-cup ramen instan.

Bento di tangan Hinata tidak akan berguna lagi. Apa pun yang terjadi, Naruto pasti akan jauh lebih memilih ramen, apalagi jika ramen itu diberikan langsung oleh Sakura. Hinata tidak membenci gadis itu karena Naruto lebih menyukainya. Dia tidak pernah merasa benci pada gadis yang menjadi rivalnya itu. Hinata justru benci pada dirinya sendiri yang masih mencoba bertahan meski tahu jika dirinya tidak mungkin menang.

"Sepertinya bento ini enak."

Hinata terperanjat. Di sebelahnya, Itachi duduk dengan santai sambil tersenyum. Sebuah senyum yang sangat tipis, hampir tak terlihat, tapi begitu tulus di mata Hinata.

"A-aku—"

"Aku tahu."

Itachi menatap Hinata, menunjukkan kesungguhannya pada gadis itu. Sejenak, kedua mata yang begitu kontras itu saling menatap. Seolah dengan begitu mereka saling berkomunikasi.

"Kau tidak perlu mengatakan apa pun. Aku tahu semuanya sejak awal."

Mereka terdiam lagi. Mencoba tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

"Ke-kenapa?" Hinata akhirnya memecah keheningan di antara keduanya.

"Tidak ada alasan." Itachi memandang langit yang sedang cerah hari itu. "Aku hanya menyukaimu. Itu saja."

Hinata menunduk, lalu menggelengkan wajahnya. "A-aku tidak mengerti."

"Kau tidak perlu mengerti. Kau hanya perlu tahu, kalau aku selalu ada untuk memerhatikanmu."

Hinata kembali mendongak saat Itachi tiba-tiba mengangkat dagu kecil Hinata. Memaksa wajah itu menatapnya. Jemari pemuda itu mengusap pipi Hinata yang mulus dengan lembut.

"Mulai saat ini. Berikan bento itu padaku. Aku berjanji akan membuatmu melupakannya."

Tanpa disangka, Hinata mengangguk seolah tersihir oleh mata onyx yang menatapnya lembut. Itachi tersenyum, kali ini jauh lebih lebar.

Sejak hari itu semuanya berubah. Hinata tetap membuat bento setiap hari dan duduk di bawah pohon di salah satu sisi lapangan. Tapi kali ini dia duduk dengan Itachi dan memberikan bento itu padanya. Sejak hari itu, Itachi akan selalu ada saat Hinata merasa kesepian. Dan Hinata akan selalu menyediakan makanan buatannya sendiri pada Itachi sambil menikmati masa-masa remajanya yang berubah menjadi sedikit lebih berwarna. Saling mengisi dan berbagi satu sama lain. Membentuk sebuah kisah baru di antara keduanya.

.

.

~~FIN~~
http://www.fanfiction.net/s/7728961/1/BENTO

Protected by Copyscape Plagiarism Checker