Dia
merapatkan jaket. Hujan masih betah menghantam tanah di sekelilingnya, sama
sekali tidak terlihat lelah. Dia bisa mencium aroma hujan yang memualkan
memenuhi indra penciuman. Matanya memicing, merutuk. Angkot yang semenjak tadi ditunggunya tidak
datang-datang. Dia benci saat-saat seperti ini. Terjebak hujan dan hanya bisa
diam menunggu. Membiarkan ujung-ujung sepatunya basah terkena percikan air. Bahkan
sinyal ponselnya pun tidak terlalu baik. Tidak bisa melakukan apa pun. Dia
benci hujan.
“Baru
pulang?”
Suara
itu menyadarkannya dari lamunan. Entah sejak kapan gadis itu ada di sana. Dia
tidak menyadari sekelilingnya sama sekali sejak tadi―dia hanya memikirkan hujan
dan angkot yang tidak kunjung datang.
“Ya.
Kau?”
Ini
hanya pertanyaan basa-basi. Dia tidak tertarik untuk berbicara sebenarnya. Tidak
tertarik juga untuk mendengar jawabannya. Toh, dia tidak mengenal gadis itu
sama sekali. Tapi dia harus selalu bersikap baik pada orang yang baik padanya,
‘kan? Bahkan peraturan sosial ini mulai mengusiknya! Dia membenci hari ini.
“Hm.”
Gadis itu mengangguk. “Aku terlalu sibuk menyusun artikel untuk majalah bulan
depan.”
“Kau
masuk klub jurnal?”
“Begitulah.”
Gadis itu tersenyum lebar―terlihat bangga dengan pekerjaannya. “Kau ada di
salah satu artikel majalah kami nanti,” dia memberi informasi.
“Ah,
ya, aku tahu.” Dia masih ingat satu minggu yang lalu dua orang dari klub jurnal
mewawancarainya atas kemenangannya dalam olimpiade catur baru-baru saja. “Apa
kau mengajakku berbicara karena ingin mewawancaraiku juga?”
Gadis
itu tertawa kecil. Dia menggeleng. Menyapukan tangannya di udara. “Kau narsis
juga. Artikelmu sudah selesai ditulis. Tinggal terbit.” Dia mengedipkan sebelah
mata. “Kecuali kalau kauingin menambahkan satu atau dua hal yang menarik lagi. Kehidupan
asmara seorang pemain catur handal sepertinya cukup menarik.”
Dia
menghela napas. “Tidak. Aku tidak tertarik untuk menambahkan lagi.”
“Padahal
topik tentang pacaran itu lumayan banyak minatnya. Kau bisa membuat pacarmu
bangga juga, tahu?”
“Tidak.
Aku tidak punya pacar―tidak perlu menambahkan hal ini ke dalam artikelmu, oke?”
“Baiklah.
Baiklah.” Gadis itu masih terkekeh. “Aku wartawan beretika kok.”
“Baguslah.”
Hujan
masih menghentak-hentak bumi tanpa lelah. Langit masih begitu gelap. Sementara
mereka mulai kembali terdiam. Sunyi yang sama menyebalkannya dengan hujan.
“Siapa
namamu?”
“Heh?”
“Kau
tahu namaku, ‘kan? Kelvin. Jadi, siapa namamu?”
Gadis
itu tersenyum. Menjulurkan tangannya. “Aku Alya. Salam kenal.”
“Salam
kenal.” Kelvin menyambut uluran tangan itu sekilas. Lalu kembali menatap hujan.
“Kau
baik juga.”
“Apa?”
Dia menatap gadis itu―bingung.
Alya
membenarkan letak tas selempangannya, memegang talinya. “Banyak yang bilang kau
sombong.”
Benarkah?
Dia tidak menyadarinya. “Sepertinya sikap pendiamku disalahartikan?”
“Mungkin.”
Alya mengangkat bahu. Dia menatap hujan yang tidak juga lelah. “Aku suka
hujan,” gumamnya, tersenyum.
Kelvin
menaikkan alis. “Kenapa?”
Gadis
itu menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Mengumpulkan semua aroma hujan
ke dalam paru-parunya. “Kau tahu? Tanpa hujan, air di bumi akan habis. Kalau
tidak ada air, tidak akan ada makhluk yang bisa hidup. Lihat saja, di daerah
lain, gurun misalnya, hujan begitu ditunggu. Setiap makhluk di sana akan
bergembira saat hujan turun. Dan saat hujan tidak turun-turun, beberapa daerah
kadang mengadakan doa bersama, meminta hujan.” Gadis itu tersenyum. “Kita harus
bersyukur karena bisa melihat hujan lumayan sering.”
Kelvin
memutar bola mata. Dia tahu gadis itu benar. Tapi tetap saja. “Aku tidak suka
hujan.”
“Aku
bisa melihatnya dari caramu memandang hujan dari tadi.” Gadis itu mengedipkan
mata. “Kau payah.”
Gadis
itu … apa sih yang dia pikirkan?
“Aku
suka menebak bahasa tubuh orang-orang. Aku tahu kau tidak suka hujan, dan
kurasa bukan hanya karena kita terpaksa terjebak di sini. Ada hal lain, ‘kan?”
Apa
dia bisa membaca pikiran orang?
“Tidak.
Tidak. Aku tidak bisa membaca pikiran―jika itu yang kaupikirkan. Aku hanya
membaca gerakanmu. Mata tidak pernah bohong. Dan lagi, aku tahu kok kita tidak
begitu saling mengenal. Jadi tidak perlu menceritakan hal pribadi.” Gadis itu
tersenyum ramah. “Aku tidak akan memaksamu menceritakan masalahmu.”
Kelvin
menatap hujan di depannya. Jalanan masih saja sepi―tidak ada tanda-tanda
kendaraan umum yang semenjak tadi ditunggunya akan datang. Dia menatap gadis di
sebelahnya sekilas, yang juga tengah menatap hujan. Entah bagaimana Alya
membuatnya merasa nyaman.
“Aku
suka catur karena ibu.” Kelvin bisa merasakan tatapan Alya padanya. Tapi gadis
itu sama sekali tidak menyela. Jadi dia melanjutkan, “Dulu, ibu sangat suka
catur dan … hujan.”
“Dia
menyukai hujan karena ayahmu, ya?”
Kelvin
menatap gadis itu. Merasa terkejut karena gadis itu bisa menebak ceritanya, padahal
dia belum mengatakannya. Tapi Alya hanya tersenyum lebar.
“Ya.
Dan ayah meninggalkannya. Meninggalkan kami.” Kelvin menarik napas dalam-dalam.
“Dia membiarkan ibu yang lemah berjuang sendiri. Mengurusiku yang masih begitu
kecil untuk mengerti. Rasanya menyakitkan melihat ibu menangis sambil menatap
hujan―menanti kedatangan ayah yang tidak akan mungkin terjadi.”
Detik
selanjutnya berjalan begitu lambat. Kelvin menghela napas. Dia tidak tahu apa
yang dia harapkan dari Alya saat dia menceritakan hal ini. Mereka baru saling
mengenal, rasanya memang tidak pantas untuk membicarakan hal sepribadi ini.
“Kurasa
ibumu tidak lemah.” Alya tersenyum lebar. “Dan hujan tidak benar-benar salah.
Dia hanya menggantikan air mata kalian―mungkin juga menyampaikan pesan yang
tidak pernah dipahami oleh ayahmu. Kita tidak pernah tahu. Tapi yang pasti,
menyalahkan bukanlah solusi.”
“Aku
tahu.”
“Kurasa
kata sabar juga terdengar klise, ‘kan? Kau, aku dan semua orang juga tahu soal
‘sabar’. Jadi satu-satunya hal yang bisa kukatakan adalah teruslah hidup dan
tunjukkan pada ayahmu itu kalau kalian bisa kuat tanpa dia .... dan kurasa kau
tidak berhak menyalahkan hujan.”
“Yeah.
Kau benar.”
Alya
meringis. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kurasa aku tidak pandai
merangkai kata-kata.”
Kelvin
tersenyum―senyum tulus pertamanya hari ini. “Padahal seorang jurnalis harusnya
pintar merangkai kalimat. Bukankah itu pekerjaan mereka?”
Gadis
itu terkekeh. Dia mengayunkan telapak tangannya di udara. Lalu menatap langit
yang masih saja tertutup awan hitam. “Hidup ini aneh. Banyak hal di dunia ini
yang tidak kumengerti. Tapi semakin banyak sisi yang kulihat, kurasa hidup ini
hanya berasaskan satu hal. Keadilan. Semuanya adil, asal kita bisa melihat dari
semua sisi yang ada. Tidak terpaku pada kenegatifan yang cenderung menutup
jalan pikiran.”
“Jadi
selain menjadi jurnalis, kau juga berbakat menjadi filsuf, ya?”
“Apaan
sih?”
Alya
tertawa. Memukul pundak Kelvin pelan. Sementara pemuda itu pura-pura meringis
sambil menahan tawa.
Padahal
mereka baru bertemu. Tapi semuanya terasa benar. Padahal gadis itu hampir tidak
melakukan apa pun. Dia hanya…
“Hey,
Kelvin?”
“Hm?”
“Apakah
setelah hujan ini berhenti, kita masih akan terus berteman?”
“Ya.
Hingga hujan-hujan selanjutnya. Aku berharap kita bisa tetap terus berteman.”
“Kuanggap
itu perjanjian persahabatan.”
…
membuat Kelvin mendadak menyukai hujan.
“Jangan
masukkan hal ini ke artikel majalahmu, oke?”
Dan
Kelvin menyukai cara gadis itu tertawa.
.
END
.
A/N: Entah ini apaan. Cuma tulisan
iseng untuk ngebuang penat. Emang gaje―persis penulisnya #sigh