Protected by Copyscape Website Copyright Protection

Selasa, 12 Maret 2013

Aku dan Kau

Awan selalu membawa hujan. Terlihat begitu putih di awal, membuat langit sedikit teduh kala kita berjalan di bawahnya. Tapi saat waktunya tiba, dia akan berkumpul, menghitam, lalu terjatuh menjadi butiran-butiran air. Kadang, ditemani oleh angin dan petir yang menyeramkan. Dan seperti itulah hubungan kita.

Tidak ada yang tahu sejak kapan atau oleh siapa semua ini dimulai. Kau sudah ada di sana setiap harinya, menemaniku secara tidak langsung setiap hujan datang. Dan aku hanya bisa menatap punggungmu setiap hari, membayangkan bagaimana rasanya bisa menyentuhnya.

Bahkan aku tidak ingat siapa yang lebih dulu menyapa. Setiap kita bertemu, selalu ada senyum yang secara otomatis tercipta. Begitu meneduhkan. Begitu kurindukan. Saat-saat itu terasa begitu benar. Meski kita tahu komunikasi kecil seperti itu tidak pernah memberi kemajuan.

Semua terjadi begitu saja. Kau dan aku tidak perlu lagi tersenyum sekilas dan berdiri saling memunggungi. Hidup dalam pikiran masing-masing di bawah derasnya hujan. Seiring berjalannya waktu, bukan lagi ada aku dan kau. Tapi kita. Berdiri berdampingan, melontarkan lelucon sambil menunggu hujan reda. Dan di waktu yang lain, kita sudah begitu dekat, bergandengan tangan dan berlari bersama. Menciptakan tawa bersama. Sesuatu yang tidak pernah kupikirkan akan mampu kita lakukan.

Semuanya terasa menyenangkan. Saat aku merasakan kehangatan tanganmu. Saat kita mulai berbagi rahasia. Saat kita saling tertawa, mengejek, dan selalu bersama setiap saat. Tapi seiring waktu berjalan, aku sadar, kesenangan ini semu.

Aku tidak tahu mengapa. Siapa yang salah. Aku atau kau? Atau justru kita berdua? Keadaan memburuk. Seperti awan hitam yang siap membludak dan jatuh menjadi butiran hujan. Dingin dan menyeramkan. Aku membenci saat ini, saat kita berdiri begitu berjauhan, di tempat yang sama, di hujan yang sama. Bahkan senyum ramah yang kita lontarkan di awal perkenalan pun tidak lagi ada. Dan aku tidak punya solusi untuk memperbaikinya.

Sendirian. Bukan lagi kita. Hanya ada aku di sini, dan kau di sana. Hidup dalam dunia kita masing-masing. Seolah tidak pernah saling mengenal. Dan kuakui, ini menyakitkan.

Tidak adakah jalan untuk kembali ke semula? Saat-saat aku hanya bisa memandang punggungmu. Mendengar deru napasmu yang beradu dengan suara hujan. Saat kita saling tersenyum singkat sebagai formalitas. Saat mimpi dan harapan masih ada. Bergelayut dalam dada dan memberikan senyuman kebahagiaan yang tak terkira.

Aku dan kau. Tidak perlu ada kita. Aku hanya ingin saat aku dan kau berada di posisi saat kita bukanlah kesatuan. Karena kesatuan hanya akan memisahkan kita lebih jauh dari awal yang memang rumit. Aku membencinya. Membenci saat ‘aku dan kau’ menjadi ‘kita’ dan kembali menjadi ‘aku dan kau’ dalam posisi yang lebih buruk.

Andai semua ini tidak terjadi. Andai cinta ini hanya kita pendam. Andai tidak ada satu pun di antara kita yang berinisiatif untuk mendekatkan hubungan. Andai … kita bisa mengulang waktu.

Tapi awan telah menjadi hujan. Tapi angin dingin dan petir ini sudah muncul. Bahkan jika hujan akhirnya kembali ke laut dan menguap kembali menjadi awan, kuyakin kita tidak akan menjadi awan yang sama lagi.

Sepertinya, inilah akhirnya.

Hujan yang sama. Mungkin awan dan air yang sama. Telah menjadi saksi kita; aku dan kau. Awal, perjalanan dan … akhir.

Minggu, 10 Maret 2013

Persahabatan Hujan


Dia merapatkan jaket. Hujan masih betah menghantam tanah di sekelilingnya, sama sekali tidak terlihat lelah. Dia bisa mencium aroma hujan yang memualkan memenuhi indra penciuman. Matanya memicing, merutuk.  Angkot yang semenjak tadi ditunggunya tidak datang-datang. Dia benci saat-saat seperti ini. Terjebak hujan dan hanya bisa diam menunggu. Membiarkan ujung-ujung sepatunya basah terkena percikan air. Bahkan sinyal ponselnya pun tidak terlalu baik. Tidak bisa melakukan apa pun. Dia benci hujan.

“Baru pulang?”

Suara itu menyadarkannya dari lamunan. Entah sejak kapan gadis itu ada di sana. Dia tidak menyadari sekelilingnya sama sekali sejak tadi―dia hanya memikirkan hujan dan angkot yang tidak kunjung datang.

“Ya. Kau?”

Ini hanya pertanyaan basa-basi. Dia tidak tertarik untuk berbicara sebenarnya. Tidak tertarik juga untuk mendengar jawabannya. Toh, dia tidak mengenal gadis itu sama sekali. Tapi dia harus selalu bersikap baik pada orang yang baik padanya, ‘kan? Bahkan peraturan sosial ini mulai mengusiknya! Dia membenci hari ini.

“Hm.” Gadis itu mengangguk. “Aku terlalu sibuk menyusun artikel untuk majalah bulan depan.”

“Kau masuk klub jurnal?”

“Begitulah.” Gadis itu tersenyum lebar―terlihat bangga dengan pekerjaannya. “Kau ada di salah satu artikel majalah kami nanti,” dia memberi informasi.

“Ah, ya, aku tahu.” Dia masih ingat satu minggu yang lalu dua orang dari klub jurnal mewawancarainya atas kemenangannya dalam olimpiade catur baru-baru saja. “Apa kau mengajakku berbicara karena ingin mewawancaraiku juga?”

Gadis itu tertawa kecil. Dia menggeleng. Menyapukan tangannya di udara. “Kau narsis juga. Artikelmu sudah selesai ditulis. Tinggal terbit.” Dia mengedipkan sebelah mata. “Kecuali kalau kauingin menambahkan satu atau dua hal yang menarik lagi. Kehidupan asmara seorang pemain catur handal sepertinya cukup menarik.”

Dia menghela napas. “Tidak. Aku tidak tertarik untuk menambahkan lagi.”

“Padahal topik tentang pacaran itu lumayan banyak minatnya. Kau bisa membuat pacarmu bangga juga, tahu?”

“Tidak. Aku tidak punya pacar―tidak perlu menambahkan hal ini ke dalam artikelmu, oke?”

“Baiklah. Baiklah.” Gadis itu masih terkekeh. “Aku wartawan beretika kok.”

“Baguslah.”

Hujan masih menghentak-hentak bumi tanpa lelah. Langit masih begitu gelap. Sementara mereka mulai kembali terdiam. Sunyi yang sama menyebalkannya dengan hujan.

“Siapa namamu?”

“Heh?”

“Kau tahu namaku, ‘kan? Kelvin. Jadi, siapa namamu?”

Gadis itu tersenyum. Menjulurkan tangannya. “Aku Alya. Salam kenal.”

“Salam kenal.” Kelvin menyambut uluran tangan itu sekilas. Lalu kembali menatap hujan.

“Kau baik juga.”

“Apa?” Dia menatap gadis itu―bingung.

Alya membenarkan letak tas selempangannya, memegang talinya. “Banyak yang bilang kau sombong.”

Benarkah? Dia tidak menyadarinya. “Sepertinya sikap pendiamku disalahartikan?”

“Mungkin.” Alya mengangkat bahu. Dia menatap hujan yang tidak juga lelah. “Aku suka hujan,” gumamnya, tersenyum.

Kelvin menaikkan alis. “Kenapa?”

Gadis itu menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Mengumpulkan semua aroma hujan ke dalam paru-parunya. “Kau tahu? Tanpa hujan, air di bumi akan habis. Kalau tidak ada air, tidak akan ada makhluk yang bisa hidup. Lihat saja, di daerah lain, gurun misalnya, hujan begitu ditunggu. Setiap makhluk di sana akan bergembira saat hujan turun. Dan saat hujan tidak turun-turun, beberapa daerah kadang mengadakan doa bersama, meminta hujan.” Gadis itu tersenyum. “Kita harus bersyukur karena bisa melihat hujan lumayan sering.”

Kelvin memutar bola mata. Dia tahu gadis itu benar. Tapi tetap saja. “Aku tidak suka hujan.”

“Aku bisa melihatnya dari caramu memandang hujan dari tadi.” Gadis itu mengedipkan mata. “Kau payah.”

Gadis itu … apa sih yang dia pikirkan?

“Aku suka menebak bahasa tubuh orang-orang. Aku tahu kau tidak suka hujan, dan kurasa bukan hanya karena kita terpaksa terjebak di sini. Ada hal lain, ‘kan?”

Apa dia bisa membaca pikiran orang?

“Tidak. Tidak. Aku tidak bisa membaca pikiran―jika itu yang kaupikirkan. Aku hanya membaca gerakanmu. Mata tidak pernah bohong. Dan lagi, aku tahu kok kita tidak begitu saling mengenal. Jadi tidak perlu menceritakan hal pribadi.” Gadis itu tersenyum ramah. “Aku tidak akan memaksamu menceritakan masalahmu.”

Kelvin menatap hujan di depannya. Jalanan masih saja sepi―tidak ada tanda-tanda kendaraan umum yang semenjak tadi ditunggunya akan datang. Dia menatap gadis di sebelahnya sekilas, yang juga tengah menatap hujan. Entah bagaimana Alya membuatnya merasa nyaman.

“Aku suka catur karena ibu.” Kelvin bisa merasakan tatapan Alya padanya. Tapi gadis itu sama sekali tidak menyela. Jadi dia melanjutkan, “Dulu, ibu sangat suka catur dan … hujan.”

“Dia menyukai hujan karena ayahmu, ya?”

Kelvin menatap gadis itu. Merasa terkejut karena gadis itu bisa menebak ceritanya, padahal dia belum mengatakannya. Tapi Alya hanya tersenyum lebar.

“Ya. Dan ayah meninggalkannya. Meninggalkan kami.” Kelvin menarik napas dalam-dalam. “Dia membiarkan ibu yang lemah berjuang sendiri. Mengurusiku yang masih begitu kecil untuk mengerti. Rasanya menyakitkan melihat ibu menangis sambil menatap hujan―menanti kedatangan ayah yang tidak akan mungkin terjadi.”

Detik selanjutnya berjalan begitu lambat. Kelvin menghela napas. Dia tidak tahu apa yang dia harapkan dari Alya saat dia menceritakan hal ini. Mereka baru saling mengenal, rasanya memang tidak pantas untuk membicarakan hal sepribadi ini.

“Kurasa ibumu tidak lemah.” Alya tersenyum lebar. “Dan hujan tidak benar-benar salah. Dia hanya menggantikan air mata kalian―mungkin juga menyampaikan pesan yang tidak pernah dipahami oleh ayahmu. Kita tidak pernah tahu. Tapi yang pasti, menyalahkan bukanlah solusi.”

“Aku tahu.”

“Kurasa kata sabar juga terdengar klise, ‘kan? Kau, aku dan semua orang juga tahu soal ‘sabar’. Jadi satu-satunya hal yang bisa kukatakan adalah teruslah hidup dan tunjukkan pada ayahmu itu kalau kalian bisa kuat tanpa dia .... dan kurasa kau tidak berhak menyalahkan hujan.”

“Yeah. Kau benar.”

Alya meringis. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kurasa aku tidak pandai merangkai kata-kata.”

Kelvin tersenyum―senyum tulus pertamanya hari ini. “Padahal seorang jurnalis harusnya pintar merangkai kalimat. Bukankah itu pekerjaan mereka?”

Gadis itu terkekeh. Dia mengayunkan telapak tangannya di udara. Lalu menatap langit yang masih saja tertutup awan hitam. “Hidup ini aneh. Banyak hal di dunia ini yang tidak kumengerti. Tapi semakin banyak sisi yang kulihat, kurasa hidup ini hanya berasaskan satu hal. Keadilan. Semuanya adil, asal kita bisa melihat dari semua sisi yang ada. Tidak terpaku pada kenegatifan yang cenderung menutup jalan pikiran.”

“Jadi selain menjadi jurnalis, kau juga berbakat menjadi filsuf, ya?”

“Apaan sih?”

Alya tertawa. Memukul pundak Kelvin pelan. Sementara pemuda itu pura-pura meringis sambil menahan tawa.

Padahal mereka baru bertemu. Tapi semuanya terasa benar. Padahal gadis itu hampir tidak melakukan apa pun. Dia hanya…

“Hey, Kelvin?”

“Hm?”

“Apakah setelah hujan ini berhenti, kita masih akan terus berteman?”

“Ya. Hingga hujan-hujan selanjutnya. Aku berharap kita bisa tetap terus berteman.”

“Kuanggap itu perjanjian persahabatan.”

… membuat Kelvin mendadak menyukai hujan.

“Jangan masukkan hal ini ke artikel majalahmu, oke?”

Dan Kelvin menyukai cara gadis itu tertawa.
.
END
.
A/N: Entah ini apaan. Cuma tulisan iseng untuk ngebuang penat. Emang gaje―persis penulisnya #sigh

Protected by Copyscape Plagiarism Checker