Awan
selalu membawa hujan. Terlihat begitu putih di awal, membuat langit sedikit
teduh kala kita berjalan di bawahnya. Tapi saat waktunya tiba, dia akan
berkumpul, menghitam, lalu terjatuh menjadi butiran-butiran air. Kadang,
ditemani oleh angin dan petir yang menyeramkan. Dan seperti itulah hubungan
kita.
Tidak
ada yang tahu sejak kapan atau oleh siapa semua ini dimulai. Kau sudah ada di
sana setiap harinya, menemaniku secara tidak langsung setiap hujan datang. Dan
aku hanya bisa menatap punggungmu setiap hari, membayangkan bagaimana rasanya
bisa menyentuhnya.
Bahkan
aku tidak ingat siapa yang lebih dulu menyapa. Setiap kita bertemu, selalu ada
senyum yang secara otomatis tercipta. Begitu meneduhkan. Begitu kurindukan.
Saat-saat itu terasa begitu benar. Meski kita tahu komunikasi kecil seperti itu
tidak pernah memberi kemajuan.
Semua
terjadi begitu saja. Kau dan aku tidak perlu lagi tersenyum sekilas dan berdiri
saling memunggungi. Hidup dalam pikiran masing-masing di bawah derasnya hujan. Seiring
berjalannya waktu, bukan lagi ada aku dan kau. Tapi kita. Berdiri berdampingan,
melontarkan lelucon sambil menunggu hujan reda. Dan di waktu yang lain, kita
sudah begitu dekat, bergandengan tangan dan berlari bersama. Menciptakan tawa
bersama. Sesuatu yang tidak pernah kupikirkan akan mampu kita lakukan.
Semuanya
terasa menyenangkan. Saat aku merasakan kehangatan tanganmu. Saat kita mulai
berbagi rahasia. Saat kita saling tertawa, mengejek, dan selalu bersama setiap
saat. Tapi seiring waktu berjalan, aku sadar, kesenangan ini semu.
Aku
tidak tahu mengapa. Siapa yang salah. Aku atau kau? Atau justru kita berdua? Keadaan
memburuk. Seperti awan hitam yang siap membludak dan jatuh menjadi butiran
hujan. Dingin dan menyeramkan. Aku membenci saat ini, saat kita berdiri begitu
berjauhan, di tempat yang sama, di hujan yang sama. Bahkan senyum ramah yang
kita lontarkan di awal perkenalan pun tidak lagi ada. Dan aku tidak punya
solusi untuk memperbaikinya.
Sendirian.
Bukan lagi kita. Hanya ada aku di sini, dan kau di sana. Hidup dalam dunia kita
masing-masing. Seolah tidak pernah saling mengenal. Dan kuakui, ini
menyakitkan.
Tidak
adakah jalan untuk kembali ke semula? Saat-saat aku hanya bisa memandang
punggungmu. Mendengar deru napasmu yang beradu dengan suara hujan. Saat kita
saling tersenyum singkat sebagai formalitas. Saat mimpi dan harapan masih ada.
Bergelayut dalam dada dan memberikan senyuman kebahagiaan yang tak terkira.
Aku
dan kau. Tidak perlu ada kita. Aku hanya ingin saat aku dan kau berada di
posisi saat kita bukanlah kesatuan. Karena kesatuan hanya akan memisahkan kita
lebih jauh dari awal yang memang rumit. Aku membencinya. Membenci saat ‘aku dan
kau’ menjadi ‘kita’ dan kembali menjadi ‘aku dan kau’ dalam posisi yang lebih
buruk.
Andai
semua ini tidak terjadi. Andai cinta ini hanya kita pendam. Andai tidak ada
satu pun di antara kita yang berinisiatif untuk mendekatkan hubungan. Andai …
kita bisa mengulang waktu.
Tapi
awan telah menjadi hujan. Tapi angin dingin dan petir ini sudah muncul. Bahkan
jika hujan akhirnya kembali ke laut dan menguap kembali menjadi awan, kuyakin
kita tidak akan menjadi awan yang sama lagi.
Sepertinya,
inilah akhirnya.
Hujan
yang sama. Mungkin awan dan air yang sama. Telah menjadi saksi kita; aku dan
kau. Awal, perjalanan dan … akhir.
1 komentar:
Aku suka cerpen yang ini, isinya sama seperti kisahku yang sulit aku tuangkan ke dalam cerita...
"Membenci saat ‘aku dan kau’ menjadi ‘kita’ dan kembali menjadi ‘aku dan kau’ dalam posisi yang lebih buruk."
kalimat itu makjleb banget dech, tante T.T
makasih yaa~~~ (?)
#hugkiss
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar Anda