Protected by Copyscape Website Copyright Protection

Jumat, 18 Oktober 2013

KESALAHAN


Lelah. Ku tak yakin sampai kapan mata ini bisa bertahan. Sakit. Rasanya ingin menyerah. Panas. Sesak. Lelah. Sakit … Apa yang terjadi?
Gelap … gelap … gelap … hilang.
Kemanakah cahaya? Sudahkah aku … menyerah?
-:-ooOoo-:-
Ia terlontar. Jauh. Tubuhnya limbung untuk sesaat. Kepalanya pening. Susah payah dia tetap berusaha bangkit. Menatap sekeliling, dan menyapu darah yang mengalir di kepala. Dia menggeleng untuk memastikan tempatnya berpijak tidaklah goyah seperti yang dia rasakan. Lalu menggeram.
“KATAKAN PADAKU APA YANG  SUDAH KAULAKUKAN PADA ADIKKU?!”
Suara dari orang itu lagi. Menggelegar. Setelah pukulan tadi, dia semakin terlihat menjulang. Tidak ada harapan. Dirinya terlalu lemah untuk melawan.
“A-aku tidak melakukan a-apa pun.” Bibirnya terasa asin saat berucap, ada darah di sela-sela giginya. “Aku ba-bahkan tidak mengenal a-adikmu!”
“BAJINGAN!”
‘BRUK!’
Tubuhnya kembali terlempar. Menabrak dinding di belakangnya. Dia meringis, tubuhnya terasa nyeri. Mungkin tulangnya patah. Mungkin … orang itu akan membunuhnya saat ini juga. Menyedihkan. Bahkan sebelum orang itu datang, dia sudah tersungkur di kasur karena demam. Dan sekarang … dia jelas tidak punya perlindungan. Kenapa juga dia harus tetap tinggal di tempat itu sementara semua orang memutuskan untuk menghabiskan libur semester di rumah masing-masing?
Sial!
“Aku tidak akan membiarkan orang yang menodai adikku hidup!”
Tubuhnya terangkat. Lehernya dicengkeram. Kepalanya semakin pening karena napas yang tertahan. Dia akan mati. Dia pasti mati saat ini. Mati karena sesuatu yang tidak dia pahami. Menggelikan. Andai ini hanya bagian dari lelucon, dia pasti sudah terbahak.
“A … ku … ti … dak….”
‘BUK!’
“MATI KAU!”
Telinganya yang berdengung mendadak senyap. Dia akan mati. Dia … mungkin sudah mati.
-:-ooOoo-:-
Marah. Rasanya seperti terbakar. Jantung ini, paru-paru ini, semuanya tidak lagi seimbang. Kepala ini … otak ini … mati rasa. Mata, hidung, telinga … semuanya tidak lagi berfungsi.
Hanya ada marah … marah … marah … dan benci.
Aku benci padanya. Aku benci adikku.
… Aku benci pada diriku sendiri yang tidak bisa apa-apa.
-:-ooOoo-:-
Dia menangis―untuk pertama kalinya semenjak dia telah menjadi laki-laki dewasa.
“Maaf….”
Rintihan itu masih terdengar begitu jelas di telinganya. Dan setiap kejadian itu terulang di benaknya, dia merasa tercabik-cabik.
“Maaf….”
Dia ingin menghapus suara itu dari pikirannya. Dia tidak ingin melihat adiknya menangis, memohon sebuah maaf yang tidak bisa dia berikan. Bukan adiknya yang harus meminta maaf. Bukan. Yang harus meminta maaf adalah sosok lain yang membuatnya ternoda.
Adiknya adalah gadis kecil yang manis. Gadis kecil yang selalu dia sayang. Gadis rapuh yang selalu dijaga layaknya berlian. Dan meski dia telah menjaganya … dia tetap gagal.
Rasanya menyakitkan saat melihat adiknya itu menangis di bawah kakinya. Dan lebih menyakitkan lagi saat melihatnya kini tak lagi bernyawa.
“Maaf, ada yang bisa dibantu?”
Dan lihatlah pemuda itu! Dia masih hidup! Tersenyum dan berbicara dengan ramah di balik pintu tempatnya tinggal! Pemuda yang sudah menghancurkan hidup adiknya … juga hidupnya.
‘BUK!’
Pintu yang sempat menghalangi mereka itu terbuka dengan paksa. Pemuda itu merintih, setengah memaki sambil memegangi wajahnya yang lebam.
“Hey! Ada ap―”
‘BUK!’
Pemuda itu bahkan masih bisa menunjukkan wajah tanpa dosa di hadapannya.
“Katakan padaku apa yang sudah kaulakukan pada adikku!” hardiknya.
“Adikmu? Siapa?”
‘BRUK!’
Dia pemuda yang lemah! Dia sama sekali tidak memiliki kekuatan. Bahkan hanya dengan satu pukulan dia sudah terlempar. Bagaimana mungkin pemuda seperti ini yang sudah membuatnya mati rasa?
Dia melempar selembar foto yang dibawanya. Foto seorang gadis cantik yang tengah tersenyum gembira menghadap kamera―foto adiknya. “Apa kau sudah mengingatnya, heh?! Tatap wajahnya lekat-lekat, karena setelah ini kau akan menyusulnya ke alam baka!”
“A-aku tidak tahu adikmu!”
‘BRUK!’
“KATAKAN PADAKU APA YANG SUDAH KAULAKUKAN PADA ADIKKU?!”
“A-aku tidak melakukan a-apa pun. Aku ba-bahkan tidak mengenal a-adikmu!”
“BAJINGAN!”
‘BRUK!’
Dia marah. Rasanya menyesakkan, hingga terasa mati rasa. Dia ingin membunuh pemuda itu. Dia … akan membunuhnya saat ini juga.
-:-ooOoo-:-
Mengantuk. Aku hanya ingin tidur. Terlelap dalam mimpi yang tenang. Tidak ada lagi masalah, air mata, rasa sakit dan tersiksa. Aku akan terbebas dan hidup bahagia selamanya.
Benarkah?
Ya! Pasti semudah itu! Hanya perlu menutup mata dan tidak terbangun lagi. Aku akan tidur … selamanya.
-:-ooOoo-:-
Dia yang salah. Pemuda itu mungkin juga salah. Ya, ini salah mereka. Bukan hanya satu pihak, karena mereka melakukannya berdua. Tanpa satu pun yang memaksa.
Lalu mengapa hanya dia yang menanggungnya?
Mata yang sudah lelah menangis itu memejam. Dia masih bisa membayangkan senyum manis pemuda itu padanya. Juga sapaan sayang yang kerap kali dia lontarkan.
“Aku mencintaimu.”
Apakah cinta itu sudah tidak ada lagi?
“Dia belum tentu anakku! Bisa saja kau sudah tidur dengan pria lain. Aku tidak memiliki tanggung jawab atas kesalahan yang kaulimpahkan padaku ini!”
Tanggung jawab. Dulu kata itu terdengar begitu sederhana. Tidak sulit berkata untuk menerima tanggung jawab karena perbuatan mereka. Tapi saat mereka dihadapkan oleh tanggung jawab itu sendiri, mereka tidak bisa. Kata itu tidak lagi terdengar sederhana. Tanggung jawab kini terasa begitu besar …
“Anggap saja sebelumnya kita tidak pernah saling mengenal.”
… hingga pemuda itu melarikan diri dan membiarkannya menanggung sendiri.
Dari kecil, hidupnya selalu dipenuhi kegembiraan. Dia memiliki orang tua dan kakak yang begitu perhatian―keluarganya sempurna. Dia juga memiliki banyak sekali teman yang setia―pergaulannya pun sempurna. Dia selalu berhasil mendapatkan hasil yang memuaskan di setiap mata pelajaran yang diterimanya―sekolahnya juga sempurna. Tapi semua kesempurnaan itu mendadak hilang saat dia melakukan satu kesalahan; menabrak norma bersama kekasihnya itu.
Kini dia menderita. Dia telah berdosa. Dosa besar yang tidak akan pernah bisa ditutupinya. Dia telah kotor dan menjijikkan. Dia tidak pantas lagi menerima kehidupan.
“Maaf….”
Dia ingat saat kata itu meluncur dari bibirnya. Dia ingat ekspresi keluarganya yang tidak terbaca. Dia ingat bagaimana kakaknya menatapnya dengan wajah memerah karena marah.
“Siapa yang sudah melakukannya?”
Ia bungkam. Dia sudah tahu pertanyaan itu akan terlontar. Tapi pemuda itu tidak sepenuhnya salah. Dia juga. Dan jika kakaknya tahu siapa dia, hidup pemuda itu akan berakhir. Dia masih mencintainya, bahkan ketika dia ditinggalkan. Dia tidak ingin hal buruk menimpa pemuda itu.
Bodoh!
“Maaf….”
Hanya kata itu yang bisa dia lontarkan. Satu kata untuk semuanya. Untuk pemuda itu, untuk kakaknya, untuk keluarganya, untuk janin dalam kandungannya, untuk dirinya sendiri, juga untuk … Tuhan.
Kata itu adalah kata terakhir yang dia ucapkan.
Karena setelahnya, bibir itu benar-benar bungkam bersamaan dengan matanya yang terpejam. Dia sudah tertidur … untuk selamanya.
-:-ooOoo-:-
Ini kesalahan. Harusnya semua tidak pernah terjadi. Harusnya nafsu itu tidak perlu diikuti. Tapi semua kesalahan itu sudah terlanjut kulakukan.
Takut… takut… takut… rasa itu seperti membunuhku.
Tapi aku tidak ingin mengakuinya. Karena ini kesalahan; pasti ada kesalahan-kesalahan lain, bukan? Mungkin saja gadis itu telah melakukan kesalahan lain, bukan denganku tapi dengan pemuda lain.
Ya! Ini kesalahan. Tapi tidak sepenuhnya salahku! Aku masih bisa berlari!
Meski … aku takut.
-:-ooOoo-:-
“Kau mau ke mana?”
Tangannya penuh dengan koper besar yang dengan susah payah diangkutnya. Mata kecokelatannya menatap sosok dengan wajah yang hampir sama dengan wajahnya itu. “Pergi,” hanya itu yang dia ucapkan sebagai jawaban.
“Ke mana? Ada urusan?”
“Ya.”
“Lama?”
“Sejak kapan sih kau jadi cerewet?”
“Kau pucat. Aku khawatir.”
“Aku baik-baik saja.”
Dia berbohong. Dia sama sekali tidak baik-baik saja. Dia bingung. Mungkin wajahnya memang pucat karena memikirkan apa yang gadis itu katakan padanya tadi.
“Aku … hamil.”
Dia masih bisa melihat dengan jelas wajah dari gadis yang sempat dia cintai itu begitu pucat. Tubuhnya jauh lebih kurus dari yang pernah dia ingat. Tapi bahkan penampilan fisik gadis itu sama sekali tidak menarik perhatiannya, karena pengakuan gadis itu jauh lebih mengagetkannya.
Dia tahu, dia sangat tahu kalau gadis itu tidak pernah mengkhianati dirinya. Dia juga tahu kalau semua ini mungkin akan terjadi―karena itu dia pernah mengucapkan janji untuk bertanggung jawab. Tapi saat kejadian itu benar-benar ada di depan wajahnya, dia tidak siap. Dia tidak pernah benar-benar mempersiapkan diri untuk sebuah tanggung jawab.
“Dia belum tentu anakku! Bisa saja kau sudah tidur dengan pria lain. Aku tidak memiliki tanggung jawab atas kesalahan yang kaulimpahkan padaku ini!”
Itu bohong. Dia mengucapkannya hanya karena alasan itu adalah satu-satunya alasan yang terbersit di kepalanya. Sebuah alasan untuk melarikan diri dari tanggung jawab.
“Anggap saja sebelumnya kita tidak pernah saling mengenal.”
Dia tidak benar-benar ingin mengatakan itu. Dia tahu kata-katanya itu sangat menyakitkan. Tapi dia sungguh-sungguh takut. Dia tidak siap. Dia ingin pergi, hanya pergi.
“Aku pergi.” Dia berucap, meninggalkan saudaranya yang masih menatapnya dengan pandangan menyelidik. “Selamat tinggal.”―dia mengucapkan kalimat terakhir itu dalam hati.
-:-ooOoo-:-
Aneh. Dia pucat, melebihi aku. Apa dia demam juga?
Aneh. Semua pergi. Dia pun seperti melarikan diri.
Aneh. Semua terasa aneh. Dia. Orang-orang.
… Atau hanya aku?
-:-ooOoo-:-
Pintu terbuka. Dia mengangkat kepalanya yang berat untuk melihat sosok yang memiliki wajah yang sama dengannya berjalan masuk dengan penampilan berantakan. Adik kembarnya. Apa yang telah terjadi padanya?
Dia ingin sekali bertanya, tapi adiknya bahkan tak berhenti bergerak. Entah apa yang tengah dilakukannya. Dia seperti mendadak memiliki kesibukan, padahal dia tidak pernah seperti ini.
Dan rasa penasarannya semakin menggebu-gebu saat dilihatnya adiknya membawa tas besar. Mau ke mana dia?
Dengan terpaksa dia bangkit. Menahan denyutan di kepala yang membuatnya limbung. Dia mendatangi adiknya, dan melontarkan pertanyaan, “Kau mau ke mana?”
“Pergi.”
Hanya itu jawaban yang didapatnya. Dan dia tidak puas.
“Ke mana? Ada urusan?”
“Ya.”
“Lama?”
“Sejak kapan sih kau jadi cerewet?”
“Kau pucat. Aku khawatir.”
Dia tidak berbohong. Adiknya sungguh-sungguh pucat. Bahkan melebihi dirinya yang memang sedang sakit.
“Aku baik-baik saja.”
Dia tidak ingin percaya kata-kata itu. Ada yang aneh. Ada yang salah.
“Aku pergi.”
Lalu dua kata itu berlalu begitu saja. Adiknya melangkah tanpa bisa dia cegah. Dia tidak tahu apa yang tengah terjadi. Sama sekali tidak mengerti. Dan mencoba mencerna semua ini membuat kepalanya semakin berdenyut-denyut. Dia tidak ingin istirahat―tapi sepertinya dia sangat membutuhkannya.
Tapi rencana istirahat itu tidak pernah terjadi.
Tidak lama setelah itu, pintu kembali diketuk. Dan dia tidak yakin dengan apa yang terjadi selanjutnya.
Keanehan itu muncul berkali-kali, hingga akhirnya memuncak di penghujung hidupnya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan itu hanya menggantung tanpa bisa terjawab.
-:-ooOoo-:-
Apa itu hidup?
Apa itu tanggung jawab?
Apa itu … mati?
Pertanyaan itu menggantung begitu saja.
Dia … aku … Tuhan … siapa yang patut disalahkan?
Lagi-lagi, semua hanya menggantung.
Tapi semua tahu, ini adalah kesalahan.
Satu kesalahan yang berujung kesalahan lain.
Yang menimbulkan rangkaian kesalahan layaknya jaring laba-laba.
Satu, dua, tiga … seribu kesalahan
Benarkah salah?
Atau ini hanya rangkaian titik yang telah ditakdirkan
Hanya menunggu untuk dirangkai menjadi pola?
-:-ooOoo-:-
Sosok itu di sana. Diam. Bisu. Dan dia juga berharap dibutakan saja.
Ini berawal dari mana?
Pertanyaan itu terus berputar di pikirannya. Dan semua pola yang ditariknya menghasilkan satu kesimpulan yang sama; dia.
Ini salahnya. Dia adalah akar.
Dan kini dia tidak tahu bagaimana cara menebus semua kesalahan ini.
Satu…, dua…, oh, tidak, ada tiga. Tiga nyawa telah pergi. Dan mungkin akan ada yang keempat.
Malaikat maut pasti tengah tersenyum. Mungkin sang shinigami diam-diam mengajaknya berteman.
Apakah artinya dia akan menjadi yang kelima?
Sebuah senyum sinis tersampir di bibirnya.
Apakah semua tokoh harus mati?
Kali ini, dia ingin tertawa.
Sandiwara macam apa ini? Sutradaranya pastilah sangat buruk. Sutradara dengan selera humor yang mengerikan.
Dan sutradara itu adalah … Tuhan.
Ya! Tuhan yang maha tidak humoris!
Dia membenci alurnya! Dia membenci semua pemerannya! Dia benci aktingnya! Dia benci endingnya! Dia benci … benci … benci….

Ini kesalahan. Ini semua adalah kesalahan!
-:-ooFINoo-:-
A/N: Lagi-lagi satu cerpen yang dibuang sayang. Saya suka cerpen ini sebenarnya. Hanya saja, mungkin cerpennya memang aneh ya? Haha XD
Well, mohon jangan kopas tanpa izin ya! :3

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda

Protected by Copyscape Plagiarism Checker